Kamis, 19 Juni 2008

Perpindahan Penduduk di Papua

PERPINDAHAN PENDUDUK DI PAPUA

Perpindahan penduduk di dalam Papua sendiri, dari luar ke dalamnya, dan ke luar daerah ini terjadi jauh sebelum abad ke-20 dan awal abad ke-21. Perpindahan tersebut makin meningkat. Faktor-faktor apakah yang mendorong perpindahan itu? Apakah arti perpindahan itu bagi orang Papua, kini dan nanti?

Rencana Pemindahan 20 Juta Penduduk Jepang ke Papua

Seandainya terlaksana tahun 1950-an, Nederlands Nieuw Guinea (NNG) – nama Belanda untuk Papua masa kini – akan merupakan kawasan imigrasi Jepang terbesar di dunia. Jepang pernah berencana memindahkan sekitar 20 juta penduduknya ke bagian barat pulau Nieuw Guinea atau New Guinea di kawasan timur Indonesia itu. Jumlah ini akan jauh lebih besar daripada yang ada di Brasil, negara dengan jumlah imigran Jepang terbesar masa kini di dunia sebanyak beberapa ratus ribu orang. Seandainya 20 juta penduduk Jepang itu jadi berpindah ke NNG dan menetap di sana, perjuangan Indonesia merebut Irian Barat melalui TRIKORA akhir 1950-an tentu akan menimbulkan persoalan lain dengan pemerintah Jepang. Untunglah, niat negara Sakura itu tidak terlaksana.

Kelebihan Penduduk

Menurut suatu laporan tertulis tahun 1950, Yoshida – Perdana Menteri Jepang waktu itu – mengatakan di depan DPR Jepang bahwa negaranya bisa kelebihan penduduk. Pada tahun itu, penduduk Jepang sebanyak 80 juta orang. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 105 juta orang pada tahun 1970-an. Salah satu cara memecahkan masalah ini adalah melalui emigrasi. Komisi tentang Masalah Kependudukan Jepang berpendapat bahwa orang Jepang bisa diemigrasikan, terutama ke Nederlands Nieuw Guinea, Sulawesi, Halmahera, dan Seram – semuanya di kawasan timur Indonesia.

Ditolak Pemerintah Belanda

Di Nederlands Nieuw Guinea, rencana ini tidak diterima pemerintah Belanda. Kekeliruan dalam laporan yang dipakai Yoshida salah satu pertimbangan Belanda menolak rencana emigrasi itu. Disebutkan di antaranya bahwa pada tahun 1950 terdapat sekitar 200.000 orang Papua. Padahal seluruh penduduk waktu itu berjumlah antara 1 juta dan 1.5 juta orang. Menurut laporan itu juga, NNG bisa menampung 20 juta orang Jepang. Di samping itu, laporan itu memberi optimisme yang kurang cermat tentang prospek perekonomian di NNG kalau puluhan juta penduduk Jepang itu jadi pindah ke sana dan menetap di dalamnya. Laporan itu mengakui bahwa orang-orang Jepang yang menjadi perintis-perintis rencana emigrasi dari negaranya sebelum Perang Dunia II sudah membuktikan secara memadai bahwa kapas dan henep Manila berhasil dibudidayakan di NNG. Sebetulnya, perkebunan kapas gagal sama sekali; di samping itu, data tentang berhasilnya henep Manila tidak bisa dipercaya. Jadi, kekeliruan dalam statistik tentang jumlah penduduk dan ketidakcermatan data tentang prospek ekonomi termasuk sebab-sebab NNG sebagai kawasan emigrasi massal Jepang di masa depan ditolak pemerintah Belanda.

Konsesi Pemerintah Belanda

Pada tahun 1931, Nanyo Kuhatsu Kaisha (NKK) – nama sebuah perusahaan perdagangan dan pembudidayaan dari Jepang – mendapat konsesi-konsesi dari pemerintah Belanda untuk berbisnis dalam perkebunan kapas, karet, dan goni di Waren, Ransiki di selatan Manokwari. Konsesi ini berlaku juga untuk perkebunan kapas di Momi, pantai barat Teluk Geelvink – sekarang bernama Teluk Cenderawasih. NKK menarik ratusan pekerja Papua dari Teluk Geelvink untuk bekerja sebagai tenaga buruh. Tapi bisnis pertanian ini tidak berhasil di Momi: panen kapas NKK rusak parah karena serangan hama serangga.

NKK ternyata kemudian punya niat terselubung di balik bisnisnya di NNG. Perusahaan ini dipimpin Saito, seorang kolonel pensiunan dari tentara Jepang. NKK ternyata menjadi suatu sarana persiapan tentara Jepang untuk menyerbu dan menduduki pantai utara NNG dalam Perang Dunia II.

Dua Faktor Pendorong Perpindahan Penduduk

Dua dari beberapa faktor utama perpindahan penduduk mencakup kelebihan penduduk dan kurangnya sumber-sumber ekonomi suatu negara atau tempat. Kedua faktor utama ini ikut mendorong Jepang menyerbu dan menduduki NNG selama beberapa tahun dalam PD II dan – sesudah itu – berencana memindahkan sekian juta penduduknya ke kawasan timur Indonesia itu.

Apa yang tidak jadi dilakukan Jepang kemudian diwujudkan Indonesia sesudah kedaulatan RI atas NNG – kemudian berubah nama menjadi Irian Barat, Irian Jaya dan sekarang – untuk gampangnya – disebut “Papua”. Luas Papua sekitar 3.5 kali pulau Jawa, pulau dengan jumlah penduduk paling padat di Indonesia. Kebijakan transmigrasi dilakukan pemerintah Indonesia. Sejak 1963, sudah terjadi perpindahan penduduk – sering terjadi secara spontan – dari kawasan lain di Indonesia ke Irian Barat. Tapi pada zaman Orde Barulah transmigrasi diselenggarakan secara terencana dan menambah jumlah pendatang secara signifikan di Papua. Para transmigran berasal tertutama dari Jawa, Bali dan Lombok – kawasan-kawasan berpenduduk padat dan kekurangan sumber-sumber ekonomi. Seperti Jepang, kelebihan penduduk dan kekurangan sumber-sumber ekonomi di kawasan-kawasan tadi merupakan dua dari sekian faktor utama yang mendorong para transmigran spontan dan pemerintah Orde Baru mengatur perpindahan penduduk ke Papua. Masa kini (2008), jumlah total penduduk seluruh Papua sekitar 3 juta orang, sebagian adalah hasil transmigrasi tadi.

Perpindahan Penduduk di dalam Papua

Kapan penduduk asli Papua mulai menetap di pulau yang kemudian dinamakan “New Guinea” itu? Sulit dipastikan. Tapi mereka diketahui sudah menghuni pulau besar ini sebelum tarikh Masehi berlaku (jadi, sebelum kelahiran Yesus). Ada taksiran, mereka sudah menghuni pulau besar ini sekitar 40.000 tahun yang lalu.

Jauh sebelum orang Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda ke Papua, migrasi sudah terjadi di pulau ini. Selama beberapa abad, terjadi gelombang emigrasi sepanjang pesisir Papua. Di Kepala Burung dan Kepulauan Raja Ampat, misalnya, terjadi percampuran antara imigran-imigran Polinesia yang datang dari timur di Samudera Pasifik dan imigran-imigran Melayu yang datang dari barat dengan penduduk Papua di ke dua tempat tadi. Selain menempuh arah Timur-Barat, emigrasi berlangsung di dalam Papua, dari timur ke barat. Umpamanya, suku Biak-Numfor di Teluk Cenderawasih masa kini konon berasal dari timur Sungai Mamberamo, kemudian menetap di pulau Biak dan Numfor. Mereka kemudian menyebar ke berbagai kawasan pesisir barat dan utara Papua dan menetap, misalnya, di Kepulauan Raja Ampat dan Teluk Dore di Manokwari.

Tentang faktor-faktor pendorong perpindahan penduduk di dalam Papua di masa pra-sejarah pulau ini, B. Drabbe M.S.C. punya suatu hipotesis (suatu dugaan cerdas) yang menarik. Pastor Katolik dan ahli linguisitik asal Belanda ini menduga pada tahun 1950-an bahwa adanya sekitar 200 bahasa daerah di Papua - sekarang diperkirakan ada sekitar 250 bahasa daerah – menunjukkan bahwa sudah terjadi perpindahan penduduk dari tempat aslinya ke tempat lain karena perang-perang suku tanpa akhir di masa lampau. Perpindahan penduduk Papua karena perang-perang suku ini lalu menimbulkan keanekaragaman yang mengesankan dari bahasa-bahasa Papua. Banyak suku yang kecil melarikan diri ke lembah-lembah yang kecil. Di sana, mereka hidup mungkin selama berabad-abad tanpa atau dengan sedikit kontak dengan suku-suku tetangga. Dalam kelompok-kelompok masyarakat yang kecil ini, yang terdiri dari kira-kira 200 orang, bahasa asal mereka berubah dan berkembang lebih cepat dari bahasa induknya. Timbullah bahasa-bahasa yang baru.

Umunya, faktor-faktor pendorong perpindahan penduduk Papua mencakup percekokan, perang suku, bencana alam seperti musim paceklik, serangan musuh dari luar, upeti yang harus dibayar setiap tahun oleh orang Papua pada Sultan Tidore, pelayaran orang Biak-Numfor untuk mengejar Tuhan Negara Bahagianya yang menurut mitos keramatnya pergi ke arah Barat, dan perbudakan merupakan beberapa faktor pendorong migrasi mereka. Jadi, dorongan sosial, politik, alami, bisnis, dan ideologis berada di balik perpindahan penduduk tersebut.


Perpindahan Orang Asing

Di tengah-tengah perang 80 tahun orang Belanda mengusir penjajah Spanyol di Belanda, kapal-kapal Belanda muncul di kepulauan yang sekarang bernama Indonesia. Mereka berperang dengan Portugal dan Spanyol di manapun mereka dijumpai. Karena didorong terutama oleh motif bisnis, mereka – atas nama VOC – mencari rempah-rempah dan akhirnya mencapai Nueva Guinea (Guinea Baru) – suatu nama awal Papua yang diberikan sebelumnya oleh seorang penjelajah Spanyol – tahun 1602. Di sini mereka mendapat info bahwa ada emas, perak, dan logam-logam mulia yang lain. Info ini rupanya dipicu oleh cerita-cerita legendaris tentang tambang-tambang emas Raja Salomo dari Israel kuno. Orang Spanyol malah memberi nama Kepulauan Solomon pada sebuah kepulauan di timurlaut Papua Nugini masa kini karena mengira di sana mereka bisa menemukan tambang emas Raja Salomo. Ternyata baik Spanyol maupun Belanda tidak menemukan emas. (Nanti di abad ke-20 barulah tembaga dan emas ditemukan di Papua bagian Selatan, kini dikelola Freeport.)

Seperti Belanda, Inggris pun mencoba menetap di Nueva Guinea karena motif ekonomi. Mereka mencari pala muda dan pohon cengkeh. Pada tahun 1793, mereka mencoba membangun sebuah benteng, Fort Coronation, di Teluk Dore, Manokwari. Mereka ditugaskan oleh Kompeni Hindia Timur, suatu kongsi perdagangan. Benteng tersebut dipagari tonggak-tonggak yang ditanam di dasar laut dan dipersenjatai 12 kanon. Tempat tinggal mereka disebut New Albion dan Teluk Dore disebut Restoration Bay. Koloni kecil Inggris ini diperkuat 15-20 tentara asal Bengali (India) dengan keluarganya yang akan menyusul. Jumlah total penduduk Inggris waktu itu terdiri dari 26 orang lelaki, tapi 11 bulan kemudian 12 di antarnya meninggal dunia. Koloni kecil itu melakukan perdagangan barter dengan penduduk setempat. Tapi tempat ini ditinggalkan tahun 1795 karena bencana kelaparan. Beberapa orang Inggris diserang, ditangkap penduduk setempat, dan dijual sebagai budak-budak di Seram.

Pada tahun 1828, Belanda mendapat kekuasaan dari raja Belanda waktu itu, Raja Willem I, untuk mencoba menetap di daerah yang kemudian disebut Kepala Burung. Tepatnya di Lobo, Teluk Triton, barat-daya propinsi Papua masa kini. Orang-orang Belanda mendirikan Fort Du Bus, sebuah benteng. Pada tanggal 24 Agustus 1828, pantai bagian barat Papua mulai dari 1410 garis bujur Timur di bagian selatan seluruh pulau sampai dengan Tanjung Pengharapan di utara dinyatakan sebagai milik Kerajaan Belanda. Tapi tempat menetap yang disebut Merkusoord ini ternyata tidak berhasil. Pada tahun 1838, Merkusoord ditinggalkan.

Meskipun demikian, orang Belanda secara sporadis masih mengunjungi Irian. Misalnya, kapal uap “Circe” milik Belanda mengunjungi Teluk Dore tahun 1850 untuk menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat dari gangguan Kesultanan Tidore.

Mulai awal 1855, orang-orang Barat dari Jerman dan Belanda menetap selama bertahun-tahun di Teluk Dore untuk tujuan penginjilan. Pada tanggal 5 Februari 1855, Carl W. Ottow dan Johann Gottlob Geissler, dua orang misionaris Protestan berusia muda asal Jerman, mendarat di pulau Mansinam, dekat Manokwari. Sesudah mereka, misionaris-misionaris Protestan dari Belanda dan keluarganya menetap di antara orang-orang Papua, seperti Van Hasselt, Sr. dan Van Hasselt, Jr., Woelders, Bink, dan Van Balen. Inilah kali pertama orang Papua pesisir di Teluk Dore dan kemudian di kawasan lain di Teluk Geelvink menjadi fokus penginjilan dari Barat.

Demi menegakkan hukum dan keadilan, pemerintah Belanda memutuskan untuk meresmikan ibu kota pertama Nieuw Guinea. Sejak Ottow dan Geissler hidup dan bekerja di tengah orang Papua, mereka dan para misionaris Belanda berkali-kali menyaksikan pembunuhan, pengayauan, penyerangan, penawanan orang sebagai budak, dan lingkaran setan dari kekerasan balas-membalas yang dilakukan berbagai suku di Teluk Geelvink. Para misionaris tidak selalu berhasil mengatasi kebiasaan-kebiasaan ini. Atas usul berbagai pihak dan persetujuan pemerintah Belanda, wibawa pemerintah secara resmi ditegakkan melalui peresmian ibu kota pertama itu. Manokwari dipilih dan diresmikan sebagai ibu kota tahun 1898.

Berapa jumlah orang Eropa dan Peranakan Belanda yang tinggal di Manokwari? Pada tahun 1930, tidak lebih dari 300 orang Belanda – terdiri dari pegawai pemerintah dan misionaris Kristen – tinggal di Manokwari. Antara Desember 1949 dan Januari 1950, sekitar 1.500 orang Peranakan Belanda pindah dari RI ke Papua dan tinggal terutama di Manokwari.

Penegakan hukum dan keadilan melalui pemerintahan Belanda di Manokwari sangat membantu para misionaris Belanda. Kalau selama 43 tahun pertama penginjilan mereka di Teluk Geelvink mereka sering mengunjungi atau melewati kawasan-kawasan yang tidak aman, sekarang mereka memperoleh perlindungan diri melalui wibawa pemerintah Belanda.

Penetapan Manokwari sebagai ibu kota pertama NNG akan disusul suatu perkembangan pusat pemerintahan Belanda sesudah Perang Dunia II. Perkembangan ini dipahami lebih baik kalau kita mengalihkan sejenak sorotan sejarah ke bagian timur Papua. Bagian ini relevan dengan sejarah perpindahan penduduk di Papua.

Sebelum Perang Dunia I, bagian utara dari Papua Nugini sekarang merupakan jajahan Jerman. Ia disebut Kaiser Wilhelmsland. Pada tahun 1909, pemerintah Belanda di Manokwari diperintahkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menetapkan batas antara Kaiser Wilhemsland dan Nederlands Nieuw Guinea berdasarkan keputusan no.4/28 Agustus 1909.
Sebagai akibatnya, pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengirimkan sebuah detasemen yang dipimpin Kapten Infanteri F.J.P. Sachse. Dengan kapal “Edi”, rombongan Sachse mendarat di suatu lembah sempit mirip huruf V dan menjorok ke laut yang kemudian bernama Kloofkamp di Hollandia pada tanggal 28 September 1909. Detasemen itu berjumlah 270 orang, kebanyakan tentara.

Tempat Sachse dan rombongannya mendarat kemudian diberi nama Hollandia. “Holland in Hollandia,” tulis seseorang tentang asal-usul nama Hollandia.

Nama ini bertahan sekitar setengah abad. Ketika persetujuan genjatan senjata diberlakukan di Irian Barat mulai 15 Agustus 1962 dan pemerintah Indonesia berangsur-angsur memasuki Irian Barat, nama Hollandia diganti sejak 1962 sebanyak tiga kali: pertama, Kota Baru, kemudian Sukarnapura, dan terakhir Jayapura.

Sesudah PD I, Kaiser Wilhemsland diambil alih oleh Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kawasan ini kemudian menjadi suatu daerah perwalian dengan Australia sebagai pelaksana pemerintahan.

Karena pergantian pemerintahan antara Jerman dan Australia, beberapa orang pengusaha perkebunan Jerman dari Kaiser Wilhemsland pindah ke Nederlands Nieuw Guinea. Pada tahun 1918, mereka menetap di belakang Hollandia, Manokwari, dan pada beberapa pulau di Kepulauan Raja Ampat. Mereka mengolah perkebunan kelapa dan mempekerjakan beberapa orang Papua. Kebanyakan pengusaha Jerman ini punya toko-toko dan melakukan perdagangan tukar-menukar barang dengan penduduk. Beberapa di antaranya berlayar keliling pulau-pulau kecil dengan sekuner-sekuner (schooners) yang mereka buat sendiri. Pedagang-pedagang Jerman yang lain membentuk Phoenix Company yang dibubarkan tahun 1931. Pada tahun 1923, hertog – suatu gelar kebangsawanan Jerman – Adolf von Mecklenburg dan rekan-rekannya mengusulkan supaya dibentuk Sindikat Nieuw Guinea dan supaya Nieuw Guinea diserahkan kepada suatu dewan direktur dari suatu lembaga perdagangan Jerman. Tapi pemerintah Belanda menolak usul-usul ini. Jadi, timbul lagi arus emigrasi yang baru dari orang-orang Jerman ke NNG karena faktor politik dan ekonomi.

Pada tahun 1926, kolonisasi – istilah zaman Hindia Belanda untuk “transmigrasi” masa kini – di NNG mulai. Ini diresmikan melalui pendirian Vereniging Kolonisatie Nieuw Guinea (Perhimpunan Kolonisasi Nieuw Guinea) disingkat VKNG oleh sekelompok kecil orang-orang Eurasia. Pada zaman Belanda, peranakan orang kulit putih-orang Asia di Hindia Belanda ini terkenal di lidah rakyat Papua dengan sebutan “Indo” atau “Indo-Belanda”. Setahun kemudian, Stichting Immigratie en Kolonisatie Nieuw Guinea (Yayasan Imigrasi dan Kolonisasi Nieuw Guinea) didirikan. Sebagai akibatnya, 250 orang kolonis – istilah zaman Belanda untuk “transmigrasi” – menetap di Manokwari. Sekitar 100 orang kolonis yang lain menghuni kawasan antara Tanah Merah dan Sentani, sekitar Hollandia. Beberapa orang kolonis Kristen membentuk sebua jemaat Kristen. Akan tetapi, tidak seorang kolonis pun berhasil dalam usahanya.

Kurangnya sumber-sumber ekonomi yang baru dan masalah kelebihan penduduk dengan implikasi ke bidang politik merupakan beberapa alasan para emigran Barat dan dari daerah lain di Hindia Belanda untuk menetap di Nieuw Guinea. Mereka melakukan usaha dalam bidang pertanian, peternakan, dan perdagangan. Mereka mulai mengatur dirinya melalui organisasi-organisasi sejak awal abad ke-20.

Perpindahan penduduk dari luar ke Nieuw Guinea didorong juga oleh Perang Dunia II. Ketika PD II berkobar di Eropa, Nieuw Guinea diduduki Jepang tahun 1942. Di Hollandia, Jepang menempatkan 3 resimen tentaranya, membangun 3 lapangan terbang di Sentani yang mampu menampung 350 pesawat terbang, dan mempersenjatai lapangan itu dengan senjata-senjata anti serangan udara.

Setahun sesudah pendudukan Jepang, Jenderal Douglas McArthur dengan Tentara Sekutu pimpinannya mendarat di Hollandia. Kekuatan tempurnya terdiri dari 215 kapal yang didukung oleh Armada Ketujuh dan 53.000 tentara. Dalam 50 pertempuran udara yang berat, Jepang kehilangan 340 pesawat terbang dan 3.300 tentara sementara 7.200 tentara yang lain mencoba bertahan hidup di rimba raya. Karena penyakit dan kelaparan, 1.000 di antaranya mati. Tentara Sekutu kehilangan 152 orang sementara 1.052 tentara mengalami luka-luka. Di Hollandia, Tentara Sekutu menemukan persediaan pangan Jepang terbesar di Pasifik dalam PD II.

Tentara Sekutu ikut berjasa dalam pembangunan Hollandia. Mereka membangun sebuah jaringan jalan sepanjang 100 kilometer dalam 2 bulan; jalan ini menghubungkan Hollandia dengan Teluk Tanah Merah di sebelah barat Hollandia. Sebuah jalan sepanjang 70 kilometer yang sekarang menghubungkan Jayapura dengan Sentani pada waktu itu selebar 10 meter dan disebut Queen’s High Road. Pada pertengahan 1944, 300 pesawat terbang mendarat setiap hari di Sentani.

Yang menarik adalah kenaikan jumlah penduduk di Hollandia selama masa pendudukan Tentara Sekutu. Bila penduduk Jayapura pada tahun 1980-an berjumlah sekitar 80.000 orang dan sebelum PD II jumlahnya pasti jauh lebih kecil, jumlah penduduk Hollandia antara 1943 dab 1945 meningkat dengan tajam menjadi 140.000 orang karena kehadiran Tentara Sekutu.

Pada tahun 1945, Tentara Sekutu menyerahkan semua gedung dan bangunan mereka pada pemerintah Hindia Belanda. Sesudah perang besar itu, pemerintah Belanda membubarkan semua pangkalan militer asing di Hollandia.

Perpindahan penduduk dari luar ke Nieuw Guinea karena PD II membawa berbagai akibat di bidang-bidang lain. Manokwari sebagai ibu kota NG dipindahkan ke Hollandia karena prasarana-prasarana penunjang modern peninggalan Tentara Sekutu mempermudah roda pemerintahan Belanda di Nieuw Guinea.

Sesudah PD II, jumlah orang Belanda dan orang non-pribumi yang tinggal dan bekerja di Papua makin meningkat. Pada tahun 1955, ada sebanyak 14.235 orang Belanda di NNG; mereka tinggal di Hollandia (7.890 orang), Manokwari (2.243), Kepulauan Biak (1.592), dan Sorong (1.201). Statistik 1955 menunjukkan bahwa 10 persen orang Belanda dan 55 persen orang Asia tinggal di Merauke; tidak ada data tentang jumlah total penduduk di kota itu. Lebih dari dua pertiga jumlah orang Belanda dan Asia tinggal di Hollandia dan Manokwari. Pada tahun 1956, ada lebih dari 16.500 orang Eropa dan sekitar 16.000 orang Asia yang tinggal dan bekerja di Papua. Statistik 1959 menyebutkan bahwa kira-kira 8.000 orang Asia itu berasal dari Maluku Selatan; statistik 1949 menyebutkan sekitar 4.500 orang Jawa Barat membentuk jumlah lain dari jumlah total orang Asia tadi. Meskipun ada jumlah orang Tionghoa cukup besar di NNG, jumlah tepat mereka tidak diketahui. Pada tahun 1950, jumlah orang Tionghoa totok dan peranakan sekitar 2.800 orang. Kebanyakan orang Asia adalah warga negara Belanda.

Seiring dengan berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat, puluhan ribu orang Belanda dan non-Belanda yang menjadi warga negara Belanda hengkang dari situ. Terjadi lagi perpindahan penduduk karena masalah politik: warga negara Belanda keluar dan digantikan warga negara Indonesia. Antara 1 Oktober 1962 dan 1 Mei 1963, peralihan kekuasaan antara Belanda dan Indonesia diselingi suatu pemerintahan sementara bentukan PBB. Pemerintahan ini disebut UNTEA, United Nations Temporary Executive Authority. Berbagai bangsa di dunia yang ikut dalam UNTEA berasal di antaranya dari Kanada, Pakistan, Bolivia, dan Amerika Serikat. Sesudah 1 Mei 1963 ketika pemerintahan UNTEA diserahkan secara resmi kepada Indonesia, perpindahan penduduk dari luar terjadi dengan pulangnya semua staf UNTEA dan masuknya pegawai dan orang Indonesia lain ke Irian Barat. Perpindahan penduduk ini terjadi karena masalah politik.

Orang-orang Papua yang tidak ingin tinggal di Irian Barat karena pertimbangan politik dan pertimbangan lain memutuskan untuk tinggal di luar propinsi atau propinsi lain di Indonesia. Beberapa orang siswa/mahasiswa Papua yang belajar di Port Moresby, Fiji, dan Belanda memutuskan untuk tetap tinggal di luar dan menjadi warga negara Papua Nugini, Fiji, dan Belanda. Yang lain yang berasal dari Papua Barat zaman Belanda atau awal zaman RI pindah tinggal, terutama di Belanda dan Papua Nugini. Kemudian, ada yang pindah tinggal di Swedia, Australia, Vanuatu, dan tempat-tempat lain di luar Indonesia.

Barangkali, perpindahan penduduk Papua terbesar dalam sejarahnya terjadi tahun 1980-an ketika lebih dari 10 ribu orang Papua pindah ke Papua Nugini karena pertimbangan akan keselamatan hidup mereka. Mereka menimbulkan masalah pengungsi bagi Papua Nugini dan PBB.

Selain tidak ingin tinggal di Irian Barat, ada juga arus perpindahan orang Papua sendiri dalam RI. Karena berbagai alasan, seperti mencari pendidikan yang bermutu di luar Papua, pekerjaan yang lebih baik dan karena penugasan perusahaan atau pemerintah, mereka pindah dari Papua ke kawasan-kawasan lain di Indonesia.

Jelaslah dari sejarah ringkas perpindahan penduduk di Papua bahwa perpindahan penduduk adalah suatu kejadian yang sudah berlangsung lama yang didorong oleh berbagai faktor. Perpindahan ini didorong oleh kelebihan penduduk dan kurangnya sumber daya alami,; konflik antar-kelompok masyarakat (percekcokan, perang suku, serangan musuh dari luar); ideologi Koreri; perang; penyebaran agama (Kristen dan Islam); penjajahan yang berkaitan dengan motif politik, ekonomi, dan bisnis; pembebasan dari penjajahan selama masa perang (tentara Sekutu membebaskan Papua dari jajahan militer Jepang); pembebasan dari penjajahan Belanda atas Irian Barat; pragmatisme (pemindahan ibu kota NNG dari Manokwari ke Hollandia); dan keselamatan hidup (pengungsian puluhan ribu orang Papua ke Papua Nugini tahun 1980-an). Pendek kata, perpindahan penduduk di Papua secara historis didorong oleh faktor politik, ekonomi, bisnis, sosial, budaya, alami, psikologis, ideologis, spiritual, dan pragmatis.

Untuk salah satu, beberapa, atau gabungan berbagai faktor tadi, orang Papua dan non-Papua masa kini pun hasil perpindahan penduduk. Sebagian pindah dari luar ke Papua lalu pindah di dalam kawasan ini; mereka juga pindah ke luar daerahnya sendiri. Lalu, datanglah berbagai bangsa lain ke Papua, untuk sementara waktu atau untuk menetap.

Apa arti perpindahan penduduk tadi bagi orang Papua sendiri? Banyak, positif dan negatif. Secara positif, perpindahan itu membawa dinamika perubahan budaya dan peradaban bagi orang Papua. Ringkas kata, mereka mengalami kemajuan, peningkatan standar atau kualitas hidup. Secara negatif, orang Papua mengalami kemunduran dalam kualitas kehidupannya: mereka menjadi “penonton” derap kemajuan, “tamu” atau orang asing di daerahnya sendiri. Sisi negatif ini hanya bisa diatasi orang Papua – atau siapa pun yang peduli dengan kondisi kemunduran mereka – melalui berbagai upaya yang sah menurut hukum negara Indonesia. Menurut saya, siasat ini paling baik, paling aman, bagi keberadaan mereka masa kini dan keberlangsungan hidupnya di masa depan.






.

Berita Sosial Budaya Lainnya
. Kiat Menulis SOP Beasiswa
. Kasus Kekerasan oleh FPI (2000-2008)
. Front Pembela Islam ( FPI )
. My Confession 150508
. 3 Pria Berjanggut
. Cinta vs Kawan
. ANTARA KESUKUAN DAN PENGINJILAN
. Lindungilah Hasil Karya Seniman Papua
. Jodoh, Cinta, Kawin
. Pengaruh I.S. Kijne Paling Lama di Papua

Tidak ada komentar: