Kamis, 19 Juni 2008

Penduduk Miskin di Papua Capai 80 Persen

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/22/utama/1633636.htm

Penduduk Miskin di Papua Capai 80 Persen

Jayapura, Kompas - Jumlah penduduk miskin di sejumlah provinsi diperkirakan
meningkat sejalan dengan melonjaknya harga pelbagai kebutuhan dan tarif
transportasi. Kemiskinan itu makin terasa karena pendapatan penduduk umumnya
tidak meningkat--kalaupun ada peningkatan hal itu tidak signifikan.

Menurut data yang diperoleh di Papua, Senin (21/3), jumlah penduduk miskin di
pulau yang amat kaya sumber daya alam itu 80,07 persen atau sekitar 1,5 juta
jiwa dari 1,9 juta penduduk Papua (data tahun 2001). Angka ini tidak berubah
karena sejak diberlakukannya Undang-Udnang (UU) Otonomi Khusus sejak akhir
2001-Maret 2005, sejumlah daerah belum memberi kontribusi bagi pemberantasan
sejumlah kategori kemiskinan. Angka kemiskinan di Papua diperkirakan akan
meningkat dengan kenaikan harga BBM.

Provinsi lain yang juga kaya sumber daya alam seperti Kalimantan Timur (Kaltim)
menghadapi masalah berat dari tingginya angka warga miskin. Di Kaltim jumlah
penduduk miskin mencapai 12 persen (328.000 orang dari 2,7 juta jiwa).

Di Provinsi Lampung, menuruk data Badan Pusat Statistik Lampung, 1,5 juta jiwa
penduduk tergolong miskin. Hal itu 22,63 persen dari keseluruhan penduduk
Lampung yang berjumlah 6,85 juta jiwa.

Di Provinsi Riau, yang juga kaya minyak bumi, penduduk miskin mencapai 22,19
persen dari total 4,54 juta penduduk.

Di Sumatera Selatan (Sumsel) yang juga kaya minyak, 20,92 persen penduduknya
miskin. Penduduk Sumsel mencapai 6,593 juta jiwa, sedangkan penduduk miskin
mencapai 1,379 juta jiwa.

Kepala Bidang Informasi Keluarga dan Analisis Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional Provinsi Papua Juwarno MM di ruang kerjanya di Jayapura,
Senin, mengatakan, data terakhir mengenai keluarga prasejahtera dan sejahtera
satu di Papua, dalam empat tahun terakhir ini tidak lagi dikirim dari BKKBN
Kabupaten/Kota.

"Data terakhir tahun 2001 yang dihimpun dari seluruh kabupaten/kota, termasuk
provinsi Irian Jaya Barat sekarang, jumlah keluarga miskin 80,07 persen dari
total penduduk Papua 1,9 juta jiwa. Data jumlah penduduk memang berbeda-beda
dari setiap instansi di Papua. Perbedaan itu berdasarkan laporan dari setiap
instansi kabupaten/kota se-Papua ke provinsi. Kalau dari Badan Pusat Statistik
Papua jumlah penduduk Papua tahun 2001 sebanyak 2,6 juta jiwa. Tetapi kami
pakai 1,9 juta jiwa," kata Juwarno.

Kategori penduduk miskin sama dengan keluarga prasejahtera dan sejahtera satu.
Kategori keluarga prasejahtera dan sejahtera satu antara lain tidak mampu pergi
ke puskesmas, rumah lantai tanah langsung dengan dinding papan/tripleks/kayu,
makan satu hari hanya 1-2 kali, menu makan tiap hari hanya singkong, tidak
mampu pergi ibadah secara rutin, tidak menikmati fasilitas air bersih, listrik,
telepon, dan tidak mampu membeli pakaian baru dalam 2-5 bulan, anak-anak hanya
mampu dibiayai sampai di tingkat SD atau tidak sekolah, dan seterusnya.

Menurut Juwarno, jika satu dari sekian kriteria keluarga prasejahtera dan
sejahtera satu itu tidak terpenuhi, sudah termasuk keluarga atau penduduk
miskin. Di Papua hampir semua penduduk miskin dari sisi papan, dan perumahan.
Semua rumah tidak memiliki lantai semen, tetapi langsung tanah.

Kondisi kehidupan masyarakat Papua tahun 2000/2001 tidak jauh berbeda dengan
kehidupan tahun 2004/2005. Meskipun sejak tahun 2001 Papua telah memiliki UU
Otonomi Khusus dengan sasaran meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli dari
prasejahtera dan sejahtera satu menjadi keluarga sejahtera atau sejahtera II.

Hasil survei dari Institute for Civil Strengthening (ICS) Papua menyebutkan,
dari delapan kabupaten yang diteliti dalam kaitan dengan dampak dari UU Otonomi
Khusus akhir tahun 2004 semua kabupaten menyebutkan, tidak ada pengaruh sama
sekali. Otonomi Khusus itu hanya demi kepentingan pejabat daerah, DPRD, dan
instansi lain yang terkait dengan hal itu.

Secara keseluruhan, kondisi kehidupan masyarakat pedalaman sangat
memprihatinkan. Mereka hanya makan sekali sehari, bekerja hari ini untuk dapat
makan hari ini, esok mereka cari lagi di hutan. Tinggal tidak menetap tetapi
sebagian dari mereka masih berpindah-pindah tempat sesuai dengan penghasilan di
hutan. Sanitasi dan kesehatan secara keseluruhan sangat rendah. Pendidikan
anak-anak pun tidak berlangsung secara rutin dan sebagian besar putus sekolah
di tingkat SD.

Hidup makin susah

Di Lampung warga miskin tersebar di delapan kabupaten dan dua kota yang ada di
Lampung. Jumlah warga miskin paling banyak terdapat di Kabupaten Lampung
Selatan dan Kabupaten Lampung Timur. Mereka dikategorikan miskin karena
penghasilannya kurang dari Rp 111.092 per orang per bulan. Menurut perhitungan
Dinas Tenaga Kerja Lampung, kebutuhan hidup minimal di provinsi dengan
pendapatan asli daerah Rp 332 miliar itu adalah Rp 403.925 per orang per bulan.

Sebagian warga Lampung yang merasa semakin berat menjalani hidup akibat
kenaikan harga BBM, di antaranya adalah para pedagang kecil di Bandar Lampung.
"Sebelum harga bensin naik, dengan modal Rp 50.000 saya bisa dapat penghasilan
kotor Rp 180.000 sehari. Sekarang uang Rp 80.000 hanya cukup untuk belanja
bahan-bahan. Pendapatan yang saya peroleh justru kurang dari itu," kata Rogi,
penjual soto ayam yang sedang mangkal di SD Negeri 02 Tanjung Karang.

Padahal untuk menyiasati kenaikan harga barang, kata ayah dua anak itu, dia
sudah berupaya menekan ongkos bahan-bahan. Ia mengakui para pembeli mengeluhkan
rasa sotonya tidak seperti dulu lagi karena kurang bumbu. "Terpaksa dikurangi.
Harga bumbu-bumbu itu lumayan naiknya, terutama cabai merah," ujarnya. Porsi
potongan ayam di dalam racikan sotonya, yang Rp 3.000 per mangkok, ia kurangi.
Sebagai gantinya mi soun dan taoge diperbanyak.

Hal serupa dialami Ayung, penjual siomay keliling. Sejak harga BBM naik ia
terpaksa menghapus menu siomay pare dari daftar jualannya. "Gara-gara BBM, pare
pun tidak kebeli," ucapnya.

Menurut Ayung, dari satu kilogram pare seharga Rp 3.000, bisa diperoleh 12
potong pare yang dijual Rp 250 per potong. "Masalahnya kalau enggak habis, pare
itu tidak bisa disimpan buat jualan besoknya, gampang hancur," kata Ayung.
(KOR/DOT/RAY/NEL/MUL)

Tidak ada komentar: