Kamis, 19 Juni 2008

Perpindahan Penduduk di Papua

PERPINDAHAN PENDUDUK DI PAPUA

Perpindahan penduduk di dalam Papua sendiri, dari luar ke dalamnya, dan ke luar daerah ini terjadi jauh sebelum abad ke-20 dan awal abad ke-21. Perpindahan tersebut makin meningkat. Faktor-faktor apakah yang mendorong perpindahan itu? Apakah arti perpindahan itu bagi orang Papua, kini dan nanti?

Rencana Pemindahan 20 Juta Penduduk Jepang ke Papua

Seandainya terlaksana tahun 1950-an, Nederlands Nieuw Guinea (NNG) – nama Belanda untuk Papua masa kini – akan merupakan kawasan imigrasi Jepang terbesar di dunia. Jepang pernah berencana memindahkan sekitar 20 juta penduduknya ke bagian barat pulau Nieuw Guinea atau New Guinea di kawasan timur Indonesia itu. Jumlah ini akan jauh lebih besar daripada yang ada di Brasil, negara dengan jumlah imigran Jepang terbesar masa kini di dunia sebanyak beberapa ratus ribu orang. Seandainya 20 juta penduduk Jepang itu jadi berpindah ke NNG dan menetap di sana, perjuangan Indonesia merebut Irian Barat melalui TRIKORA akhir 1950-an tentu akan menimbulkan persoalan lain dengan pemerintah Jepang. Untunglah, niat negara Sakura itu tidak terlaksana.

Kelebihan Penduduk

Menurut suatu laporan tertulis tahun 1950, Yoshida – Perdana Menteri Jepang waktu itu – mengatakan di depan DPR Jepang bahwa negaranya bisa kelebihan penduduk. Pada tahun itu, penduduk Jepang sebanyak 80 juta orang. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 105 juta orang pada tahun 1970-an. Salah satu cara memecahkan masalah ini adalah melalui emigrasi. Komisi tentang Masalah Kependudukan Jepang berpendapat bahwa orang Jepang bisa diemigrasikan, terutama ke Nederlands Nieuw Guinea, Sulawesi, Halmahera, dan Seram – semuanya di kawasan timur Indonesia.

Ditolak Pemerintah Belanda

Di Nederlands Nieuw Guinea, rencana ini tidak diterima pemerintah Belanda. Kekeliruan dalam laporan yang dipakai Yoshida salah satu pertimbangan Belanda menolak rencana emigrasi itu. Disebutkan di antaranya bahwa pada tahun 1950 terdapat sekitar 200.000 orang Papua. Padahal seluruh penduduk waktu itu berjumlah antara 1 juta dan 1.5 juta orang. Menurut laporan itu juga, NNG bisa menampung 20 juta orang Jepang. Di samping itu, laporan itu memberi optimisme yang kurang cermat tentang prospek perekonomian di NNG kalau puluhan juta penduduk Jepang itu jadi pindah ke sana dan menetap di dalamnya. Laporan itu mengakui bahwa orang-orang Jepang yang menjadi perintis-perintis rencana emigrasi dari negaranya sebelum Perang Dunia II sudah membuktikan secara memadai bahwa kapas dan henep Manila berhasil dibudidayakan di NNG. Sebetulnya, perkebunan kapas gagal sama sekali; di samping itu, data tentang berhasilnya henep Manila tidak bisa dipercaya. Jadi, kekeliruan dalam statistik tentang jumlah penduduk dan ketidakcermatan data tentang prospek ekonomi termasuk sebab-sebab NNG sebagai kawasan emigrasi massal Jepang di masa depan ditolak pemerintah Belanda.

Konsesi Pemerintah Belanda

Pada tahun 1931, Nanyo Kuhatsu Kaisha (NKK) – nama sebuah perusahaan perdagangan dan pembudidayaan dari Jepang – mendapat konsesi-konsesi dari pemerintah Belanda untuk berbisnis dalam perkebunan kapas, karet, dan goni di Waren, Ransiki di selatan Manokwari. Konsesi ini berlaku juga untuk perkebunan kapas di Momi, pantai barat Teluk Geelvink – sekarang bernama Teluk Cenderawasih. NKK menarik ratusan pekerja Papua dari Teluk Geelvink untuk bekerja sebagai tenaga buruh. Tapi bisnis pertanian ini tidak berhasil di Momi: panen kapas NKK rusak parah karena serangan hama serangga.

NKK ternyata kemudian punya niat terselubung di balik bisnisnya di NNG. Perusahaan ini dipimpin Saito, seorang kolonel pensiunan dari tentara Jepang. NKK ternyata menjadi suatu sarana persiapan tentara Jepang untuk menyerbu dan menduduki pantai utara NNG dalam Perang Dunia II.

Dua Faktor Pendorong Perpindahan Penduduk

Dua dari beberapa faktor utama perpindahan penduduk mencakup kelebihan penduduk dan kurangnya sumber-sumber ekonomi suatu negara atau tempat. Kedua faktor utama ini ikut mendorong Jepang menyerbu dan menduduki NNG selama beberapa tahun dalam PD II dan – sesudah itu – berencana memindahkan sekian juta penduduknya ke kawasan timur Indonesia itu.

Apa yang tidak jadi dilakukan Jepang kemudian diwujudkan Indonesia sesudah kedaulatan RI atas NNG – kemudian berubah nama menjadi Irian Barat, Irian Jaya dan sekarang – untuk gampangnya – disebut “Papua”. Luas Papua sekitar 3.5 kali pulau Jawa, pulau dengan jumlah penduduk paling padat di Indonesia. Kebijakan transmigrasi dilakukan pemerintah Indonesia. Sejak 1963, sudah terjadi perpindahan penduduk – sering terjadi secara spontan – dari kawasan lain di Indonesia ke Irian Barat. Tapi pada zaman Orde Barulah transmigrasi diselenggarakan secara terencana dan menambah jumlah pendatang secara signifikan di Papua. Para transmigran berasal tertutama dari Jawa, Bali dan Lombok – kawasan-kawasan berpenduduk padat dan kekurangan sumber-sumber ekonomi. Seperti Jepang, kelebihan penduduk dan kekurangan sumber-sumber ekonomi di kawasan-kawasan tadi merupakan dua dari sekian faktor utama yang mendorong para transmigran spontan dan pemerintah Orde Baru mengatur perpindahan penduduk ke Papua. Masa kini (2008), jumlah total penduduk seluruh Papua sekitar 3 juta orang, sebagian adalah hasil transmigrasi tadi.

Perpindahan Penduduk di dalam Papua

Kapan penduduk asli Papua mulai menetap di pulau yang kemudian dinamakan “New Guinea” itu? Sulit dipastikan. Tapi mereka diketahui sudah menghuni pulau besar ini sebelum tarikh Masehi berlaku (jadi, sebelum kelahiran Yesus). Ada taksiran, mereka sudah menghuni pulau besar ini sekitar 40.000 tahun yang lalu.

Jauh sebelum orang Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda ke Papua, migrasi sudah terjadi di pulau ini. Selama beberapa abad, terjadi gelombang emigrasi sepanjang pesisir Papua. Di Kepala Burung dan Kepulauan Raja Ampat, misalnya, terjadi percampuran antara imigran-imigran Polinesia yang datang dari timur di Samudera Pasifik dan imigran-imigran Melayu yang datang dari barat dengan penduduk Papua di ke dua tempat tadi. Selain menempuh arah Timur-Barat, emigrasi berlangsung di dalam Papua, dari timur ke barat. Umpamanya, suku Biak-Numfor di Teluk Cenderawasih masa kini konon berasal dari timur Sungai Mamberamo, kemudian menetap di pulau Biak dan Numfor. Mereka kemudian menyebar ke berbagai kawasan pesisir barat dan utara Papua dan menetap, misalnya, di Kepulauan Raja Ampat dan Teluk Dore di Manokwari.

Tentang faktor-faktor pendorong perpindahan penduduk di dalam Papua di masa pra-sejarah pulau ini, B. Drabbe M.S.C. punya suatu hipotesis (suatu dugaan cerdas) yang menarik. Pastor Katolik dan ahli linguisitik asal Belanda ini menduga pada tahun 1950-an bahwa adanya sekitar 200 bahasa daerah di Papua - sekarang diperkirakan ada sekitar 250 bahasa daerah – menunjukkan bahwa sudah terjadi perpindahan penduduk dari tempat aslinya ke tempat lain karena perang-perang suku tanpa akhir di masa lampau. Perpindahan penduduk Papua karena perang-perang suku ini lalu menimbulkan keanekaragaman yang mengesankan dari bahasa-bahasa Papua. Banyak suku yang kecil melarikan diri ke lembah-lembah yang kecil. Di sana, mereka hidup mungkin selama berabad-abad tanpa atau dengan sedikit kontak dengan suku-suku tetangga. Dalam kelompok-kelompok masyarakat yang kecil ini, yang terdiri dari kira-kira 200 orang, bahasa asal mereka berubah dan berkembang lebih cepat dari bahasa induknya. Timbullah bahasa-bahasa yang baru.

Umunya, faktor-faktor pendorong perpindahan penduduk Papua mencakup percekokan, perang suku, bencana alam seperti musim paceklik, serangan musuh dari luar, upeti yang harus dibayar setiap tahun oleh orang Papua pada Sultan Tidore, pelayaran orang Biak-Numfor untuk mengejar Tuhan Negara Bahagianya yang menurut mitos keramatnya pergi ke arah Barat, dan perbudakan merupakan beberapa faktor pendorong migrasi mereka. Jadi, dorongan sosial, politik, alami, bisnis, dan ideologis berada di balik perpindahan penduduk tersebut.


Perpindahan Orang Asing

Di tengah-tengah perang 80 tahun orang Belanda mengusir penjajah Spanyol di Belanda, kapal-kapal Belanda muncul di kepulauan yang sekarang bernama Indonesia. Mereka berperang dengan Portugal dan Spanyol di manapun mereka dijumpai. Karena didorong terutama oleh motif bisnis, mereka – atas nama VOC – mencari rempah-rempah dan akhirnya mencapai Nueva Guinea (Guinea Baru) – suatu nama awal Papua yang diberikan sebelumnya oleh seorang penjelajah Spanyol – tahun 1602. Di sini mereka mendapat info bahwa ada emas, perak, dan logam-logam mulia yang lain. Info ini rupanya dipicu oleh cerita-cerita legendaris tentang tambang-tambang emas Raja Salomo dari Israel kuno. Orang Spanyol malah memberi nama Kepulauan Solomon pada sebuah kepulauan di timurlaut Papua Nugini masa kini karena mengira di sana mereka bisa menemukan tambang emas Raja Salomo. Ternyata baik Spanyol maupun Belanda tidak menemukan emas. (Nanti di abad ke-20 barulah tembaga dan emas ditemukan di Papua bagian Selatan, kini dikelola Freeport.)

Seperti Belanda, Inggris pun mencoba menetap di Nueva Guinea karena motif ekonomi. Mereka mencari pala muda dan pohon cengkeh. Pada tahun 1793, mereka mencoba membangun sebuah benteng, Fort Coronation, di Teluk Dore, Manokwari. Mereka ditugaskan oleh Kompeni Hindia Timur, suatu kongsi perdagangan. Benteng tersebut dipagari tonggak-tonggak yang ditanam di dasar laut dan dipersenjatai 12 kanon. Tempat tinggal mereka disebut New Albion dan Teluk Dore disebut Restoration Bay. Koloni kecil Inggris ini diperkuat 15-20 tentara asal Bengali (India) dengan keluarganya yang akan menyusul. Jumlah total penduduk Inggris waktu itu terdiri dari 26 orang lelaki, tapi 11 bulan kemudian 12 di antarnya meninggal dunia. Koloni kecil itu melakukan perdagangan barter dengan penduduk setempat. Tapi tempat ini ditinggalkan tahun 1795 karena bencana kelaparan. Beberapa orang Inggris diserang, ditangkap penduduk setempat, dan dijual sebagai budak-budak di Seram.

Pada tahun 1828, Belanda mendapat kekuasaan dari raja Belanda waktu itu, Raja Willem I, untuk mencoba menetap di daerah yang kemudian disebut Kepala Burung. Tepatnya di Lobo, Teluk Triton, barat-daya propinsi Papua masa kini. Orang-orang Belanda mendirikan Fort Du Bus, sebuah benteng. Pada tanggal 24 Agustus 1828, pantai bagian barat Papua mulai dari 1410 garis bujur Timur di bagian selatan seluruh pulau sampai dengan Tanjung Pengharapan di utara dinyatakan sebagai milik Kerajaan Belanda. Tapi tempat menetap yang disebut Merkusoord ini ternyata tidak berhasil. Pada tahun 1838, Merkusoord ditinggalkan.

Meskipun demikian, orang Belanda secara sporadis masih mengunjungi Irian. Misalnya, kapal uap “Circe” milik Belanda mengunjungi Teluk Dore tahun 1850 untuk menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat dari gangguan Kesultanan Tidore.

Mulai awal 1855, orang-orang Barat dari Jerman dan Belanda menetap selama bertahun-tahun di Teluk Dore untuk tujuan penginjilan. Pada tanggal 5 Februari 1855, Carl W. Ottow dan Johann Gottlob Geissler, dua orang misionaris Protestan berusia muda asal Jerman, mendarat di pulau Mansinam, dekat Manokwari. Sesudah mereka, misionaris-misionaris Protestan dari Belanda dan keluarganya menetap di antara orang-orang Papua, seperti Van Hasselt, Sr. dan Van Hasselt, Jr., Woelders, Bink, dan Van Balen. Inilah kali pertama orang Papua pesisir di Teluk Dore dan kemudian di kawasan lain di Teluk Geelvink menjadi fokus penginjilan dari Barat.

Demi menegakkan hukum dan keadilan, pemerintah Belanda memutuskan untuk meresmikan ibu kota pertama Nieuw Guinea. Sejak Ottow dan Geissler hidup dan bekerja di tengah orang Papua, mereka dan para misionaris Belanda berkali-kali menyaksikan pembunuhan, pengayauan, penyerangan, penawanan orang sebagai budak, dan lingkaran setan dari kekerasan balas-membalas yang dilakukan berbagai suku di Teluk Geelvink. Para misionaris tidak selalu berhasil mengatasi kebiasaan-kebiasaan ini. Atas usul berbagai pihak dan persetujuan pemerintah Belanda, wibawa pemerintah secara resmi ditegakkan melalui peresmian ibu kota pertama itu. Manokwari dipilih dan diresmikan sebagai ibu kota tahun 1898.

Berapa jumlah orang Eropa dan Peranakan Belanda yang tinggal di Manokwari? Pada tahun 1930, tidak lebih dari 300 orang Belanda – terdiri dari pegawai pemerintah dan misionaris Kristen – tinggal di Manokwari. Antara Desember 1949 dan Januari 1950, sekitar 1.500 orang Peranakan Belanda pindah dari RI ke Papua dan tinggal terutama di Manokwari.

Penegakan hukum dan keadilan melalui pemerintahan Belanda di Manokwari sangat membantu para misionaris Belanda. Kalau selama 43 tahun pertama penginjilan mereka di Teluk Geelvink mereka sering mengunjungi atau melewati kawasan-kawasan yang tidak aman, sekarang mereka memperoleh perlindungan diri melalui wibawa pemerintah Belanda.

Penetapan Manokwari sebagai ibu kota pertama NNG akan disusul suatu perkembangan pusat pemerintahan Belanda sesudah Perang Dunia II. Perkembangan ini dipahami lebih baik kalau kita mengalihkan sejenak sorotan sejarah ke bagian timur Papua. Bagian ini relevan dengan sejarah perpindahan penduduk di Papua.

Sebelum Perang Dunia I, bagian utara dari Papua Nugini sekarang merupakan jajahan Jerman. Ia disebut Kaiser Wilhelmsland. Pada tahun 1909, pemerintah Belanda di Manokwari diperintahkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menetapkan batas antara Kaiser Wilhemsland dan Nederlands Nieuw Guinea berdasarkan keputusan no.4/28 Agustus 1909.
Sebagai akibatnya, pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengirimkan sebuah detasemen yang dipimpin Kapten Infanteri F.J.P. Sachse. Dengan kapal “Edi”, rombongan Sachse mendarat di suatu lembah sempit mirip huruf V dan menjorok ke laut yang kemudian bernama Kloofkamp di Hollandia pada tanggal 28 September 1909. Detasemen itu berjumlah 270 orang, kebanyakan tentara.

Tempat Sachse dan rombongannya mendarat kemudian diberi nama Hollandia. “Holland in Hollandia,” tulis seseorang tentang asal-usul nama Hollandia.

Nama ini bertahan sekitar setengah abad. Ketika persetujuan genjatan senjata diberlakukan di Irian Barat mulai 15 Agustus 1962 dan pemerintah Indonesia berangsur-angsur memasuki Irian Barat, nama Hollandia diganti sejak 1962 sebanyak tiga kali: pertama, Kota Baru, kemudian Sukarnapura, dan terakhir Jayapura.

Sesudah PD I, Kaiser Wilhemsland diambil alih oleh Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kawasan ini kemudian menjadi suatu daerah perwalian dengan Australia sebagai pelaksana pemerintahan.

Karena pergantian pemerintahan antara Jerman dan Australia, beberapa orang pengusaha perkebunan Jerman dari Kaiser Wilhemsland pindah ke Nederlands Nieuw Guinea. Pada tahun 1918, mereka menetap di belakang Hollandia, Manokwari, dan pada beberapa pulau di Kepulauan Raja Ampat. Mereka mengolah perkebunan kelapa dan mempekerjakan beberapa orang Papua. Kebanyakan pengusaha Jerman ini punya toko-toko dan melakukan perdagangan tukar-menukar barang dengan penduduk. Beberapa di antaranya berlayar keliling pulau-pulau kecil dengan sekuner-sekuner (schooners) yang mereka buat sendiri. Pedagang-pedagang Jerman yang lain membentuk Phoenix Company yang dibubarkan tahun 1931. Pada tahun 1923, hertog – suatu gelar kebangsawanan Jerman – Adolf von Mecklenburg dan rekan-rekannya mengusulkan supaya dibentuk Sindikat Nieuw Guinea dan supaya Nieuw Guinea diserahkan kepada suatu dewan direktur dari suatu lembaga perdagangan Jerman. Tapi pemerintah Belanda menolak usul-usul ini. Jadi, timbul lagi arus emigrasi yang baru dari orang-orang Jerman ke NNG karena faktor politik dan ekonomi.

Pada tahun 1926, kolonisasi – istilah zaman Hindia Belanda untuk “transmigrasi” masa kini – di NNG mulai. Ini diresmikan melalui pendirian Vereniging Kolonisatie Nieuw Guinea (Perhimpunan Kolonisasi Nieuw Guinea) disingkat VKNG oleh sekelompok kecil orang-orang Eurasia. Pada zaman Belanda, peranakan orang kulit putih-orang Asia di Hindia Belanda ini terkenal di lidah rakyat Papua dengan sebutan “Indo” atau “Indo-Belanda”. Setahun kemudian, Stichting Immigratie en Kolonisatie Nieuw Guinea (Yayasan Imigrasi dan Kolonisasi Nieuw Guinea) didirikan. Sebagai akibatnya, 250 orang kolonis – istilah zaman Belanda untuk “transmigrasi” – menetap di Manokwari. Sekitar 100 orang kolonis yang lain menghuni kawasan antara Tanah Merah dan Sentani, sekitar Hollandia. Beberapa orang kolonis Kristen membentuk sebua jemaat Kristen. Akan tetapi, tidak seorang kolonis pun berhasil dalam usahanya.

Kurangnya sumber-sumber ekonomi yang baru dan masalah kelebihan penduduk dengan implikasi ke bidang politik merupakan beberapa alasan para emigran Barat dan dari daerah lain di Hindia Belanda untuk menetap di Nieuw Guinea. Mereka melakukan usaha dalam bidang pertanian, peternakan, dan perdagangan. Mereka mulai mengatur dirinya melalui organisasi-organisasi sejak awal abad ke-20.

Perpindahan penduduk dari luar ke Nieuw Guinea didorong juga oleh Perang Dunia II. Ketika PD II berkobar di Eropa, Nieuw Guinea diduduki Jepang tahun 1942. Di Hollandia, Jepang menempatkan 3 resimen tentaranya, membangun 3 lapangan terbang di Sentani yang mampu menampung 350 pesawat terbang, dan mempersenjatai lapangan itu dengan senjata-senjata anti serangan udara.

Setahun sesudah pendudukan Jepang, Jenderal Douglas McArthur dengan Tentara Sekutu pimpinannya mendarat di Hollandia. Kekuatan tempurnya terdiri dari 215 kapal yang didukung oleh Armada Ketujuh dan 53.000 tentara. Dalam 50 pertempuran udara yang berat, Jepang kehilangan 340 pesawat terbang dan 3.300 tentara sementara 7.200 tentara yang lain mencoba bertahan hidup di rimba raya. Karena penyakit dan kelaparan, 1.000 di antaranya mati. Tentara Sekutu kehilangan 152 orang sementara 1.052 tentara mengalami luka-luka. Di Hollandia, Tentara Sekutu menemukan persediaan pangan Jepang terbesar di Pasifik dalam PD II.

Tentara Sekutu ikut berjasa dalam pembangunan Hollandia. Mereka membangun sebuah jaringan jalan sepanjang 100 kilometer dalam 2 bulan; jalan ini menghubungkan Hollandia dengan Teluk Tanah Merah di sebelah barat Hollandia. Sebuah jalan sepanjang 70 kilometer yang sekarang menghubungkan Jayapura dengan Sentani pada waktu itu selebar 10 meter dan disebut Queen’s High Road. Pada pertengahan 1944, 300 pesawat terbang mendarat setiap hari di Sentani.

Yang menarik adalah kenaikan jumlah penduduk di Hollandia selama masa pendudukan Tentara Sekutu. Bila penduduk Jayapura pada tahun 1980-an berjumlah sekitar 80.000 orang dan sebelum PD II jumlahnya pasti jauh lebih kecil, jumlah penduduk Hollandia antara 1943 dab 1945 meningkat dengan tajam menjadi 140.000 orang karena kehadiran Tentara Sekutu.

Pada tahun 1945, Tentara Sekutu menyerahkan semua gedung dan bangunan mereka pada pemerintah Hindia Belanda. Sesudah perang besar itu, pemerintah Belanda membubarkan semua pangkalan militer asing di Hollandia.

Perpindahan penduduk dari luar ke Nieuw Guinea karena PD II membawa berbagai akibat di bidang-bidang lain. Manokwari sebagai ibu kota NG dipindahkan ke Hollandia karena prasarana-prasarana penunjang modern peninggalan Tentara Sekutu mempermudah roda pemerintahan Belanda di Nieuw Guinea.

Sesudah PD II, jumlah orang Belanda dan orang non-pribumi yang tinggal dan bekerja di Papua makin meningkat. Pada tahun 1955, ada sebanyak 14.235 orang Belanda di NNG; mereka tinggal di Hollandia (7.890 orang), Manokwari (2.243), Kepulauan Biak (1.592), dan Sorong (1.201). Statistik 1955 menunjukkan bahwa 10 persen orang Belanda dan 55 persen orang Asia tinggal di Merauke; tidak ada data tentang jumlah total penduduk di kota itu. Lebih dari dua pertiga jumlah orang Belanda dan Asia tinggal di Hollandia dan Manokwari. Pada tahun 1956, ada lebih dari 16.500 orang Eropa dan sekitar 16.000 orang Asia yang tinggal dan bekerja di Papua. Statistik 1959 menyebutkan bahwa kira-kira 8.000 orang Asia itu berasal dari Maluku Selatan; statistik 1949 menyebutkan sekitar 4.500 orang Jawa Barat membentuk jumlah lain dari jumlah total orang Asia tadi. Meskipun ada jumlah orang Tionghoa cukup besar di NNG, jumlah tepat mereka tidak diketahui. Pada tahun 1950, jumlah orang Tionghoa totok dan peranakan sekitar 2.800 orang. Kebanyakan orang Asia adalah warga negara Belanda.

Seiring dengan berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat, puluhan ribu orang Belanda dan non-Belanda yang menjadi warga negara Belanda hengkang dari situ. Terjadi lagi perpindahan penduduk karena masalah politik: warga negara Belanda keluar dan digantikan warga negara Indonesia. Antara 1 Oktober 1962 dan 1 Mei 1963, peralihan kekuasaan antara Belanda dan Indonesia diselingi suatu pemerintahan sementara bentukan PBB. Pemerintahan ini disebut UNTEA, United Nations Temporary Executive Authority. Berbagai bangsa di dunia yang ikut dalam UNTEA berasal di antaranya dari Kanada, Pakistan, Bolivia, dan Amerika Serikat. Sesudah 1 Mei 1963 ketika pemerintahan UNTEA diserahkan secara resmi kepada Indonesia, perpindahan penduduk dari luar terjadi dengan pulangnya semua staf UNTEA dan masuknya pegawai dan orang Indonesia lain ke Irian Barat. Perpindahan penduduk ini terjadi karena masalah politik.

Orang-orang Papua yang tidak ingin tinggal di Irian Barat karena pertimbangan politik dan pertimbangan lain memutuskan untuk tinggal di luar propinsi atau propinsi lain di Indonesia. Beberapa orang siswa/mahasiswa Papua yang belajar di Port Moresby, Fiji, dan Belanda memutuskan untuk tetap tinggal di luar dan menjadi warga negara Papua Nugini, Fiji, dan Belanda. Yang lain yang berasal dari Papua Barat zaman Belanda atau awal zaman RI pindah tinggal, terutama di Belanda dan Papua Nugini. Kemudian, ada yang pindah tinggal di Swedia, Australia, Vanuatu, dan tempat-tempat lain di luar Indonesia.

Barangkali, perpindahan penduduk Papua terbesar dalam sejarahnya terjadi tahun 1980-an ketika lebih dari 10 ribu orang Papua pindah ke Papua Nugini karena pertimbangan akan keselamatan hidup mereka. Mereka menimbulkan masalah pengungsi bagi Papua Nugini dan PBB.

Selain tidak ingin tinggal di Irian Barat, ada juga arus perpindahan orang Papua sendiri dalam RI. Karena berbagai alasan, seperti mencari pendidikan yang bermutu di luar Papua, pekerjaan yang lebih baik dan karena penugasan perusahaan atau pemerintah, mereka pindah dari Papua ke kawasan-kawasan lain di Indonesia.

Jelaslah dari sejarah ringkas perpindahan penduduk di Papua bahwa perpindahan penduduk adalah suatu kejadian yang sudah berlangsung lama yang didorong oleh berbagai faktor. Perpindahan ini didorong oleh kelebihan penduduk dan kurangnya sumber daya alami,; konflik antar-kelompok masyarakat (percekcokan, perang suku, serangan musuh dari luar); ideologi Koreri; perang; penyebaran agama (Kristen dan Islam); penjajahan yang berkaitan dengan motif politik, ekonomi, dan bisnis; pembebasan dari penjajahan selama masa perang (tentara Sekutu membebaskan Papua dari jajahan militer Jepang); pembebasan dari penjajahan Belanda atas Irian Barat; pragmatisme (pemindahan ibu kota NNG dari Manokwari ke Hollandia); dan keselamatan hidup (pengungsian puluhan ribu orang Papua ke Papua Nugini tahun 1980-an). Pendek kata, perpindahan penduduk di Papua secara historis didorong oleh faktor politik, ekonomi, bisnis, sosial, budaya, alami, psikologis, ideologis, spiritual, dan pragmatis.

Untuk salah satu, beberapa, atau gabungan berbagai faktor tadi, orang Papua dan non-Papua masa kini pun hasil perpindahan penduduk. Sebagian pindah dari luar ke Papua lalu pindah di dalam kawasan ini; mereka juga pindah ke luar daerahnya sendiri. Lalu, datanglah berbagai bangsa lain ke Papua, untuk sementara waktu atau untuk menetap.

Apa arti perpindahan penduduk tadi bagi orang Papua sendiri? Banyak, positif dan negatif. Secara positif, perpindahan itu membawa dinamika perubahan budaya dan peradaban bagi orang Papua. Ringkas kata, mereka mengalami kemajuan, peningkatan standar atau kualitas hidup. Secara negatif, orang Papua mengalami kemunduran dalam kualitas kehidupannya: mereka menjadi “penonton” derap kemajuan, “tamu” atau orang asing di daerahnya sendiri. Sisi negatif ini hanya bisa diatasi orang Papua – atau siapa pun yang peduli dengan kondisi kemunduran mereka – melalui berbagai upaya yang sah menurut hukum negara Indonesia. Menurut saya, siasat ini paling baik, paling aman, bagi keberadaan mereka masa kini dan keberlangsungan hidupnya di masa depan.






.

Berita Sosial Budaya Lainnya
. Kiat Menulis SOP Beasiswa
. Kasus Kekerasan oleh FPI (2000-2008)
. Front Pembela Islam ( FPI )
. My Confession 150508
. 3 Pria Berjanggut
. Cinta vs Kawan
. ANTARA KESUKUAN DAN PENGINJILAN
. Lindungilah Hasil Karya Seniman Papua
. Jodoh, Cinta, Kawin
. Pengaruh I.S. Kijne Paling Lama di Papua

penduduk papua menurut jenis kelamin

Penduduk Papua menurut Jenis Kelamin

dan Sek Rasio per Kabupaten/Kota

Population of Papua by Sex and Sex

Ratio by Regency/Municipality,

1995

Kabupaten/Kota

Regency/Municipality

Laki‑laki

Male

Perempuan

Female

Jumlah

Total

Sex Rasio

Sex Ratio

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Kabupaten/Regency

01. Merauke

02. Jayawijaya

03. Jayapura

04. Paniai

05. Fak‑Fak

06. Sorong

07. Manokwari

08. Yapen Waropen

09. Biak Numfor

Kota/Municipality

71. Jayapura

72. Sorong

146 334

214 465

67 090

134 356

54 160

115 910

79 518

34 856

51 021

91 872

135 981

208 810

62 680

125 176

51 856

120 615

75 776

35 619

49 220

87 312

282 315

423 275

129 770

259 532

106 016

236 526

155 294

70 475

100 241

179 184

107,61

102,71

107,04

107,33

104,44

104,06

104,94

102,19

103,66

105,22

Jumlah/Total

989 582

953 045

1 942 627

103,83

Sumber : BPS Provinsi Papua

Source BPS-Statistics of Papua Province

14 Ribu Penduduk Papua Terinfeksi HIV/AIDS

Minggu, 11 Desember 2005 | 02:07 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Provinsi Papua, Constant Karma, memperkirakan sebanyak 14 ribu lebih penduduk Papua terinfeksi virus HIV/AIDS.

Dari jumlah itu, sebanyak 2000 lebih warga dinyatakan positif HIV. "Apabila hasil prediksi ini terbukti, maka ini merupakan bencana bagi Papua," katanya kepada Tempo, Sabtu (10/12) di Jayapura.

Constant juga mengungkapkan kasus HIV/AIDS didominasi oleh para ibu rumah tangga. Penyebaran virus mematikan itu sebagian besar dilakukan orang asli Papua. Ia meminta warga Papu untuk melakukan puasa seks dan jangan berganti-ganti pasangan.

Kalau pun tak mampu, dia menyarankan agar menggunakan kondom saat berhubungan seks, serta menjauhi narkotika. "Ini salah satu cara untuk menekan penyebaran HIV/AIDS, sehingga nantinya tidak menjadi wabah dan penyakit kutukan bagi Papua," ujarnya.

Jika penyakit ini tidak direspon secara cepat, lanjut dia, bukan tidak mungkin peristiwa di Uganda yang hampir sebagian besar penduduknya terkena HIV/AIDS bisa terjadi di Papua. Lita Oetomo

Anda bisa mengomentari berita ini melalui SMS. Ketik TIJAWABbrk70445komentar dan kirim ke 9333


Dari Arsip Majalah TEMPO
Dialog Partai Politik | 07 Juni 1999
Kisah Sebatang Jarum di Kampung Bali | 06 Desember 2004
Info Kesehatan | 06 Desember 2004
Jejaring Risiko Penularan HIV di Indonesia | 06 Desember 2004
Harapan dari Buah Merah | 06 Desember 2004
Jarum-Jarum Penyebar Maut | 06 Desember 2004
Bukan Perempuan Biasa | 06 Desember 2004
Bila Setia Tak Lagi Cukup | 06 Desember 2004
Cobalah Berobat ke Dunia Maya | 30 Maret 1999
Virus AIDS Mewabah, Penyebarnya Punah | 23 Pebruari 1999
>>selengkapnya ::




Dari Koleksi Foto TEMPO | Under Development
Klinik khusus penderita AIDS dan pengobatan tradisional di Jakarta, 1996 [TEMPO/ Rully Kesuma; R1A/225/96; 20010606]. Klinik khusus penderita AIDS dan pengobatan tradisional di Jakarta, 1996 [TEMPO/ Rully Kesuma; R1A/225/96; 20010606].

Penduduk Miskin di Papua Capai 80 Persen

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/22/utama/1633636.htm

Penduduk Miskin di Papua Capai 80 Persen

Jayapura, Kompas - Jumlah penduduk miskin di sejumlah provinsi diperkirakan
meningkat sejalan dengan melonjaknya harga pelbagai kebutuhan dan tarif
transportasi. Kemiskinan itu makin terasa karena pendapatan penduduk umumnya
tidak meningkat--kalaupun ada peningkatan hal itu tidak signifikan.

Menurut data yang diperoleh di Papua, Senin (21/3), jumlah penduduk miskin di
pulau yang amat kaya sumber daya alam itu 80,07 persen atau sekitar 1,5 juta
jiwa dari 1,9 juta penduduk Papua (data tahun 2001). Angka ini tidak berubah
karena sejak diberlakukannya Undang-Udnang (UU) Otonomi Khusus sejak akhir
2001-Maret 2005, sejumlah daerah belum memberi kontribusi bagi pemberantasan
sejumlah kategori kemiskinan. Angka kemiskinan di Papua diperkirakan akan
meningkat dengan kenaikan harga BBM.

Provinsi lain yang juga kaya sumber daya alam seperti Kalimantan Timur (Kaltim)
menghadapi masalah berat dari tingginya angka warga miskin. Di Kaltim jumlah
penduduk miskin mencapai 12 persen (328.000 orang dari 2,7 juta jiwa).

Di Provinsi Lampung, menuruk data Badan Pusat Statistik Lampung, 1,5 juta jiwa
penduduk tergolong miskin. Hal itu 22,63 persen dari keseluruhan penduduk
Lampung yang berjumlah 6,85 juta jiwa.

Di Provinsi Riau, yang juga kaya minyak bumi, penduduk miskin mencapai 22,19
persen dari total 4,54 juta penduduk.

Di Sumatera Selatan (Sumsel) yang juga kaya minyak, 20,92 persen penduduknya
miskin. Penduduk Sumsel mencapai 6,593 juta jiwa, sedangkan penduduk miskin
mencapai 1,379 juta jiwa.

Kepala Bidang Informasi Keluarga dan Analisis Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional Provinsi Papua Juwarno MM di ruang kerjanya di Jayapura,
Senin, mengatakan, data terakhir mengenai keluarga prasejahtera dan sejahtera
satu di Papua, dalam empat tahun terakhir ini tidak lagi dikirim dari BKKBN
Kabupaten/Kota.

"Data terakhir tahun 2001 yang dihimpun dari seluruh kabupaten/kota, termasuk
provinsi Irian Jaya Barat sekarang, jumlah keluarga miskin 80,07 persen dari
total penduduk Papua 1,9 juta jiwa. Data jumlah penduduk memang berbeda-beda
dari setiap instansi di Papua. Perbedaan itu berdasarkan laporan dari setiap
instansi kabupaten/kota se-Papua ke provinsi. Kalau dari Badan Pusat Statistik
Papua jumlah penduduk Papua tahun 2001 sebanyak 2,6 juta jiwa. Tetapi kami
pakai 1,9 juta jiwa," kata Juwarno.

Kategori penduduk miskin sama dengan keluarga prasejahtera dan sejahtera satu.
Kategori keluarga prasejahtera dan sejahtera satu antara lain tidak mampu pergi
ke puskesmas, rumah lantai tanah langsung dengan dinding papan/tripleks/kayu,
makan satu hari hanya 1-2 kali, menu makan tiap hari hanya singkong, tidak
mampu pergi ibadah secara rutin, tidak menikmati fasilitas air bersih, listrik,
telepon, dan tidak mampu membeli pakaian baru dalam 2-5 bulan, anak-anak hanya
mampu dibiayai sampai di tingkat SD atau tidak sekolah, dan seterusnya.

Menurut Juwarno, jika satu dari sekian kriteria keluarga prasejahtera dan
sejahtera satu itu tidak terpenuhi, sudah termasuk keluarga atau penduduk
miskin. Di Papua hampir semua penduduk miskin dari sisi papan, dan perumahan.
Semua rumah tidak memiliki lantai semen, tetapi langsung tanah.

Kondisi kehidupan masyarakat Papua tahun 2000/2001 tidak jauh berbeda dengan
kehidupan tahun 2004/2005. Meskipun sejak tahun 2001 Papua telah memiliki UU
Otonomi Khusus dengan sasaran meningkatkan kesejahteraan masyarakat asli dari
prasejahtera dan sejahtera satu menjadi keluarga sejahtera atau sejahtera II.

Hasil survei dari Institute for Civil Strengthening (ICS) Papua menyebutkan,
dari delapan kabupaten yang diteliti dalam kaitan dengan dampak dari UU Otonomi
Khusus akhir tahun 2004 semua kabupaten menyebutkan, tidak ada pengaruh sama
sekali. Otonomi Khusus itu hanya demi kepentingan pejabat daerah, DPRD, dan
instansi lain yang terkait dengan hal itu.

Secara keseluruhan, kondisi kehidupan masyarakat pedalaman sangat
memprihatinkan. Mereka hanya makan sekali sehari, bekerja hari ini untuk dapat
makan hari ini, esok mereka cari lagi di hutan. Tinggal tidak menetap tetapi
sebagian dari mereka masih berpindah-pindah tempat sesuai dengan penghasilan di
hutan. Sanitasi dan kesehatan secara keseluruhan sangat rendah. Pendidikan
anak-anak pun tidak berlangsung secara rutin dan sebagian besar putus sekolah
di tingkat SD.

Hidup makin susah

Di Lampung warga miskin tersebar di delapan kabupaten dan dua kota yang ada di
Lampung. Jumlah warga miskin paling banyak terdapat di Kabupaten Lampung
Selatan dan Kabupaten Lampung Timur. Mereka dikategorikan miskin karena
penghasilannya kurang dari Rp 111.092 per orang per bulan. Menurut perhitungan
Dinas Tenaga Kerja Lampung, kebutuhan hidup minimal di provinsi dengan
pendapatan asli daerah Rp 332 miliar itu adalah Rp 403.925 per orang per bulan.

Sebagian warga Lampung yang merasa semakin berat menjalani hidup akibat
kenaikan harga BBM, di antaranya adalah para pedagang kecil di Bandar Lampung.
"Sebelum harga bensin naik, dengan modal Rp 50.000 saya bisa dapat penghasilan
kotor Rp 180.000 sehari. Sekarang uang Rp 80.000 hanya cukup untuk belanja
bahan-bahan. Pendapatan yang saya peroleh justru kurang dari itu," kata Rogi,
penjual soto ayam yang sedang mangkal di SD Negeri 02 Tanjung Karang.

Padahal untuk menyiasati kenaikan harga barang, kata ayah dua anak itu, dia
sudah berupaya menekan ongkos bahan-bahan. Ia mengakui para pembeli mengeluhkan
rasa sotonya tidak seperti dulu lagi karena kurang bumbu. "Terpaksa dikurangi.
Harga bumbu-bumbu itu lumayan naiknya, terutama cabai merah," ujarnya. Porsi
potongan ayam di dalam racikan sotonya, yang Rp 3.000 per mangkok, ia kurangi.
Sebagai gantinya mi soun dan taoge diperbanyak.

Hal serupa dialami Ayung, penjual siomay keliling. Sejak harga BBM naik ia
terpaksa menghapus menu siomay pare dari daftar jualannya. "Gara-gara BBM, pare
pun tidak kebeli," ucapnya.

Menurut Ayung, dari satu kilogram pare seharga Rp 3.000, bisa diperoleh 12
potong pare yang dijual Rp 250 per potong. "Masalahnya kalau enggak habis, pare
itu tidak bisa disimpan buat jualan besoknya, gampang hancur," kata Ayung.
(KOR/DOT/RAY/NEL/MUL)

gunung dipapua timur

Puncak Jaya


Puncak Jaya atau Gunung Carstensz merupakan sebuah gunung yang terdapat di pulau Papua Barat, Indonesia. Dengan ketinggian 4,884 meter, Puncak Jaya merupakan gunung kedua tertinggi di Asia Tenggara. Gunung ini yang dulu pernah bernama Puntjak Soekarno adalah salah satu dari Tujuh Puncak Utama dunia. Gunung tertinggi pulau New Guinea ini juga merupakan gunung tertinggi di Indonesia dan Oceania.

Puncak Jaya mempunyai kawasan Hutan Dipterokarp Bukit, Hutan Dipterokarp Atas, Hutan Montane dan Hutan Ericaceous.

[sunting] Lihat juga

[sunting] Rujukan

  1. Ketinggian ini ditentukan oleh Ekspedisi Universiti Australia 1971-73 dan disokong oleh lembaga Tujuh Puncak dan data radar peleraian tinggi moden. Ketinggian lama ialah 5,030 metres (16,503 ka).
Puncak Jaya

Puncak Jaya
Ketinggian 4,884 metres (16,024 ka)[1]
Lokasi Provinsi Papua, Indonesia
Banjaran Banjaran Sudirman
Kejelasan 4,884 m (titik tertinggi di New Guinea) Tempat ke-9
Koordinat 4°5′S 137°11′EKoordinat: 4°5′S 137°11′E
Pendakian pertama 1962 oleh Heinrich Harrer dan 3 lagi
Laluan paling mudah Pendakian batu/salji/ais











Puncak Sumantri Brodjonegoro

Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.

Lompat ke: navigasi, gelintar

Puncak Sumantri Brodjonegoro merupakan sebuah gunung yang terdapat di pulau Papua Barat, Indonesia. Tingginya 4,855 meter.

Puncak Sumantri Brodjonegoro mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.



Puncak Carstensz Timur

Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.

Lompat ke: navigasi, gelintar

Puncak Carstensz Timur merupakan sebuah gunung yang terdapat di pulau Papua Barat, Indonesia. Puncak Carstensz Timur mempunyai ketinggian setinggi 4,860 meter.

Puncak Carstensz Timur mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.



Puncak Trikora

Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas.

Lompat ke: navigasi, gelintar
Puncak Trikora
Imej:Tiada
Maklumat ringkas
Negara Indonesia
Negeri {{{Negeri}}}
Daerah {{{Daerah}}}
Mukim {{{Mukim}}}
Kampung {{{Kampung}}}
Jenis gunung {{{Jenis}}}
Taraf gunung {{{Taraf}}}
Letupan terakhir {{{Letupan}}}
Tinggi {{{Meter}}} meter
{{{Kaki}}} kaki
Koordinat {{{Koordinat}}}
'''''


Puncak Trikora merupakan sebuah gunung yang terdapat di pulau Papua Barat, Indonesia. Puncak Trikora mempunyai ketinggian setinggi 4,730 meter.

Puncak Trikora mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.


perjuangkan bahaya perubahan iklim adalah ketahanan bangsa-bangsa

Papua Barat, 04 Desember 2007

Hutan perawan Papua adalah rumah yang aman dan saling berhubungan erat dengan ketahanan hidup. Bangsa Papua Barat punya leluhur yang paling di jaga adalah pelestarian alam sekitar. Penduduk Papua sebelum datangnya peradaban penjajahan, abad 12 adalah pencerahan atas bumi Papua. Kedekatan Penduduk Papua yang mayoritas ber-ideologi luhur peradaban adat dan budaya menjalin hubungan yang dinamis dengan lingkungan sekitar tempat tinggal dan melakukan aktivitas sehari-hari. Asas hidup yang menyatu dengan alam sekitar membuat aktivitas hidup orang Papua tidak mencelakakan alam dan tanah sebab tanah dan hutan adalah bagian tak terpisahkan dari pandangan hidup Bangsa Papua di bagian Barat pulau Papua.

Tanah, hutan dan Air di Bumi Papua mulai terjamah dengan tangan-tangan berdosa yang merusak hutan, mencemari air, malapetaka mulai ada dimana saat ini dalam Forum Pemanasan Bumi, penduduk dunia meresahkan terjadinya perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan bumi pula. Blokade eksploitasi alam Papua yang nyata dirusak oleh tenaga-tenaga idustri internasional dan Nasional, 30 tahun PT. Freeport Indonesia memborbardir tanah dan mertakan ratusan hektar hutan terjadi akibat pelebaran aliran limbah produksi. Pepohonan menjadi kering, tanah menajdi tandus-tumpukan batu-batuan membentuk poros jalan tol limah inilah georafis hutan dan alam dalam kekangan sang tambang.

Setelah hutan dan tanah di gali, giliran berikutnya adalah sumber gas Alam yang segera di operasikan oleh British Petroleum di Bintuni-bagian barat pulau Papua. Kekeringanntidak hanya ada di lapisan tanah bagian atas, tepai sumber cadangan mineral dan air dalam wilayah ini menjadi nihil. Laju sabotase minyak, gas dan tambang menguburkan segala aspek kehidupan. Ketegangan kita saat ini adalah bagaimana mengurangi laju eksploitasif di negara-negara secara sistem dan wilayah-wilayah okspot.

Kekejaman nyata yang sangat mengganggu kerukunan Masyarakat adat dengan lingkungannya adalah cara-cara yang dijalankan oleh kolonialisme semata. Peradaban adat dan tradisi yang hekekatnya tidak menimbulkan problem lingkungan dengan manusia, misalnya longor dan penebangan hutan yang membabibuta sangat meresahkan ketentraman penduduk adat sebagai pendekar penjaga dan perlindungan hutan dan alam disekitar.

Keresahan penduduk berbudaya tradisional akan kehadiran sejumlah alat-alat penghancur hutan kini nyata menjadi keprihatinan bersama dalam forum perubahan iklim saat ini. Resistensi penguatan ekonomi negara-negara makmur mendominasi negara-negara berkembang kian melumpuhkan kedaulatan adat dan budaya penduduk pribumi yang nyatanya senjata bagi keselamatan hutan-tanah- air dan tentunya keselamatan semua mahluk hidup di Bumi.
Kemerdekaan Masyarakat Pribumi.

Satu langkah Pasti Pencegahan Pemanasan Bumi

Laju eksploitasi modern semakin meminggirkan kedaulatan masayarakat pribumi memiliki kekuatan ampuh dalam penjagaan alam. Dampak terhadap pemanasan bumi tidak meningkat adalah cara hidup masayarkat adat/tradisional. Orang Papua dengan mencari makan sehari-hari tidak dengan cara yang di peragakan oleh Amerika, Eropa dan Jepang yang mengais hidup dengan peralatan canggih. Kami tidak mempunyai keahlian pembabatan hutan dan alam seperti yang di tunjukan negara-negara industrialis dunia. Kami punya cara pertahankan hidup terlalu kecil bagi kejahatan bumi yang mengakibatkan kerusakan alam dan memicu perubahan iklim dunia.

Sekian lamanya alam dirusak, kita baru akan mendiskusikan bahaya pemanasan bumi sekarang. Berabad-abad alam di jarah, air tercemar, penghilangan kedaulatan bangsa pribumi sebagai sebuah komunitas sipil yang kekuatannya menunjukan perlindungan akan pelestarian wilayah dan negeri setempat. Namun, sayangnya ditengah resensi sistem yang mengembangkan neraka dunia membunuh dengan perlahan kekuatan lokal. Konstitusi negara-negara moderen yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan filosofi pribumi sebagai rentang kendali masalah serius bagi penyusunan keinginan bersama guna pencegahan perubahan iklim. Karakter produksi dalam era globalisasi sekarang patut di kurangi. Tidak hanya pengurangan emisi gas sebab akar permasalahan perubahan iklim adalah ideologi pelestarian bumi lebih mementingkan kepentingan ekonomi pasar internasional.

Kita tidak akan berhasil dalam konsolidasi perubahan iklim sekarang, tetapi komitmen semua negara atas kedaulatan bangsa pribumi adalah jalan panjang pencegahan kerusakan hutan dan pencemaran bumi saat ini maupun akan datang. Penghentian peningkatan produksi adalah keharusan disamping mengurangi emis gas, juga bagian dari pembatasan hegemoni eksploitatif yang serakah.

Papua Barat adalah satu-satunya wilayah yang menyimpan sumber penting dalam permasalahan pemanasan bumi. Negeri ini paling tidak sebagai solusi ketika perubahan iklim menjadi masalah sekarang. Kami yakin, lumbung kekuatan perlindungan dan pencegahan terhadap bahaya perubahan iklim adalah keharusan bagi pentingnya penegakan berbagai aspek diantaranya :

  • Perlindungan dan kemerdekaan sudah saatnya di tegakan bagi masayarakat pribumi.
  • Penghentian dan pengurangan eksploitatif sekarang maupun akan datang yang hendak menjadikan Papua Barat sebagai sumber peningkatan produksi.
  • Berikan hak kuasa pertambangan kepada masayarakat adat sebab Kejayaan masyarakat adat dan bangsa pribumi menjadi penguasa terdepan dalam mengontrol hingga mengijinkan sebuah produksi berjalan sesuai aturan pribumi yang tentunya sejalan dengan kampanye bahaya perubahan iklim saat ini dan akan datang.
  • Negara-negara industri tak hanya respons terhadap kampanye perubahan iklim, bahwa keberpihakan sekarang adalah pengurangan emisi gas dengan mengurangi laju peningkatan produksi. Jika ini tidak terwujud maka musuh utama dunia adalah negara-negara yang tidak patuh terhadap pengurangan produksi.

keadaan sosial dan budaya

Sudah sejak lama ujung barat laut Irian dan seluruh pantai utara penduduknya dipengaruhi oleh penduduk dari kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore, Seram dan Key), maka adalah tidak mengherankan apabila suku-suku bangsa disepanjang pesisir pantai (Fak-Fak, Sorong, Manokwari dan Teluk Cenderawasih) lebih pantas digolongkan sebagai Ras Melanesia dari pada Ras Papua. Zending atau misi kristen protestan dari Jerman (Ottow & Geissler) tiba di pulau Mansinam Manokwari 5 Februari 1855 untuk selanjutnya menyebarkan ajaran agama disepanjang pesisir pantai utara Irian. Pada tanggal 5 Februari 1935, tercatat lebih dari 50.000 orang menganut agama kristen protestan. Kemudian pada tahun 1898 pemerintah Hindia Belanda membuka Pos Pemerintahan pertama di Fak-Fak dan Manokwari dan dilanjutkan dengan membuka pos pemerintah di Merauke pada tahun 1902. Dari Merauke aktivitas keagamaan misi katholik dimulai dan pada umumnya disepanjang pantai selatan Irian. Pada tahun 1933 tercatat sebanyak 7.100 orang pemeluk agama katholik. Pendidikan dasar sebagian besar diselenggarakan oleh kedua misi keagamaan tersebut, dimana guru sekolah dan guru agama umumnya berasal dari Indonesia Timur (Ambon, Ternate, Tidore, Seram, Key, Manado, Sanger-Talaud, dan Timor), dimana pelajaran diberikan dalam bahasa Melayu. Pembagian kedua kelompok agama tersebut kelihatannya identik dengan keadaan di Negeri Belanda dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen Katholik di Selatan.

Pendidikan mendapat jatah yang cukup besar dalam anggaran pemerintah Belanda, pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan, anggaran pendidikan ini mencapai 11% dari seluruh pengeluaran tahun 1961. Akan tetapi pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja disektor perekonomian modern, dan yang lebih diutamakan adalah nilai-nilai Belanda dan agama Kristen. Pada akhir tahun 1961 rencana pendidikan diarahkan kepada usaha peningkatan keterampilan, tetapi lebih diutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani dan kemasyarakatan. Walaupun bahasa "Melayu" dijadikan sebagai bahasa "Franca" (Lingua Franca), bahasa Belanda tetap diajarkan sebagai bahasa wajib mulai dari sekolah dasar, bahasa-bahasa Inggris, Jerman dan Perancis merupakan bahasa kedua yang mulai diajarkan di sekolah lanjutan.

Pada tahun 1950-an pendidikan dasar terus dilakukan oleh kedua misi keagamaan tersebut. Tercatat bahwa pada tahun 1961 terdapat 496 sekolah misi tanpa subsidi dengan kurang lebih 20.000 murid. Sekolah Dasar yang bersubsidi sebanyak 776 dengan jumlah murid pada tahun 1961 sebanyak kurang lebih 45.000 murid, dan seluruhnya ditangani oleh misi, dan pelajaran agama merupakan mata pelajaran wajib dalam hal ini. Pada tahun 1961 tercatat 1.000 murid belajar di sekolah menengah pertama, 95 orang Irian Belajar diluar negeri yaitu Belanda, Port Moresby, dan Australia dimana ada yang masuk Perguruan Tinggi serta ada yang masuk Sekolah Pertanian maupun Sekolah Perawat Kesehatan (misalnya pada Nederland Nasional Institut for Tropica Agriculture dan Papua Medical College di Port Moresby).

Walaupun Belanda harus mengeluarkan anggaran yang besar untuk menbangun Irian Barat, namun hubungan antara kota dan desa atau kampung tetap terbatas. Hubungan laut dan luar negeri dilakukan oleh perusahaan Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) yang menghubungkan kota-kota Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Fak-Fak, dan Merauke, Singapura, Negeri Belanda. Selain itu ada kapal-kapal kecil milik pemerintah untuk keperluan tugas pemerintahan. Belanda juga membuka 17 kantor POS dan telekomunikasi yang melayani antar kota. Terdapat sebuah telepon radio yang dapat menghubungi Hollandia-Amsterdam melalui Biak, juga ditiap kota terdapat telepon. Terdapat perusahaan penerbangan Nederland Nieuw Guinea Luchvaart Maatschappij (NNGLM) yang menyelenggarakan penerbangan-penerbangan secara teratur antara Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Merauke, dan Jayawijaya dengan pesawat DC-3, kemudian disusul oleh perusahaan penerbangan Kroonduif dan Koniklijk Luchvaart Maatschappij (KLM) untuk penerbangan luar negeri dari Biak. Sudah sejak tahun 1950 lapangan terbang Biak menjadi lapangan Internasional. Selain penerbangan tersebut, masih terdapat juga penerbangan yang diselenggarakan oleh misi protestan yang bernama Mission Aviation Fellowship (MAF) dan penerbangan yang diselenggarakan oleh misi Katholik yang bernama Associated Mission Aviation (AMA) yang melayani penerbangan ke pos-pos penginjilan di daerah pedalaman. Jalan-jalan terdapat disekitar kota besar yaitu di Hollandia 140 Km, Biak 135 Km, Manokwari 105 Km, Sorong 120 Km, Fak-Fak 5 Km, dan Merauke 70 Km.

Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan suku "ASMAT" kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir dan tari. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa lokal khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa lokal di Irian Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu:
Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut diatas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang.

Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi kedalam 4 kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri.

  1. Penduduk pesisir pantai;
    Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.

  2. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah;
    Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihuta disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.

  3. Penduduk pegunungan yang mendiami lembah;
    Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua (2). Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe 2 (kedua).

  4. Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung;
    Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.

Dalam berbagai kebudayaan dari penduduk Irian ada suatu gerakan kebatinan yang dengan suatu istilah populer sering disebut cargo cults. Ada suatu peristiwa gerakan cargo yang paling tua di Irian Jaya pada tahun 1861 dan terjadi di Biak yang bernama "KORERI". Peristiwa atau gerakan cargo terakhir itu pada tahun 1959 sampai tahun 1962 di Gakokebo-Enarotali (kabupaten Paniai) yang disebut " WERE/WEGE" sebagaimana telah dikemukakan bahwa gerakan ini yang semula bermotif politik.

Pada waktu Belanda meniggalkan Irian Barat, posisi-posisi baik dibidang pemerintahan, pembangunan (dinas-jawatan) baik sebagai pimpinan maupun pimpinan menengah diserahterimakan kepada putra daerah (orang Papua/Irian Barat) sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Juga seluruh rumah dan harta termasuk gedung dan tanah milik orang Belanda itu diserahkan kepada kenalan mereka orang Papua (pembantu dan teman sekerja) untuk dimiliki, karena mereka tidak bisa menjualnya dan juga tidak ada pembeli pada masa itu.

Belanda juga meninggalkan ekses konflik antara suku-suku besar sebagai akibat dari aktivitas politik yaitu pertentangan antara "Elite Pro-Papua" dan "Elite Pro-Indonesia" yang ditandai dengan pertentangan antara "Suku Biak lawan Suku Serui, Suku tanah Merah-Jayapura lawan Suku Serui", sekalipun dalam hal ini tidak semua orang Biak itu pro-Papua, tidak semua orang Serui itu pro-Indonesia dan tidak semua orang Tanah Merah-Jayapura itu pro-Papua dan pro-Indonesia.

Berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Irian Barat sangat hati-hati sekali dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Irian Barat/Nieuw Guinea sesuai dengan permintahaan dan kebutuhan orang-orang Irian Barat. Katakanlah bahwa ini suatu bentuk "Etis-Politik Gaya Baru". Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk "Nasionalisme Papua". Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Irian Jaya tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda

tentang papua

GAMBARAN UMUM

Provinsi Papua merupakan Provinsi yang paling luas wilayahnya dari seluruh Provinsi di Indonesia. Luas Provinsi Papua ± 410.660 Km2 atau merupakan ± 21% dari luas wilayah Indonesia. Lebih dari 75% masih tertutup oleh hutan-hutan tropis yang


lebat, dengan ± 80% penduduknya masih dalam keadaan semi terisolir di daerah pedalaman (bagian tengah Papua). Jumlah penduduk 2,3 Juta Jiwa dengan kepadatan penduduk 5,13 orang per Km2 .Secara geografis berada diantara garis meridian 0’19’ - 10045 LS dan antara garis bujur 1300 45 - 141048 BT yang membentang dari Barat ke Timur dengan silang 110 atau 1.200 Km.

Dengan demikian daerah Papua berada didaerah yang beriklim tropis dengan cuaca yang panas dan lembab d daerah pantai, serta cuaca dingin dan bersalju pada bagian yang tertinggi di daerah pegunungan Jayawijaya.


SEJARAH

Menurut perjalanan sejarah tanggal 13 Juni 1545 Ortis de Retes (pelaut Spayol) menemukan dua pulau La Sevillana dan La Callega yang aslinya dan sampai saat ini disebut Supyori dan Baik. Dan pada sore harinya menemukan satu pulau lagi yang kemudian diberi nama Los Martyre, sekarang ini disebut pulau Numfor, ketiga pulau tersebut berada di bagian utara Papua.

Setelah melanjutkan perjalannya, beberapa hari kemudian tiba di muara sungai Bei yang oleh de Retes diberi nama San Augustin (disebelah Timur Sungai mamberamo. Setelah mendarat Ortis de Retes menancapkan bendera Spanyol dan memproklamirkan tempat ini kemudian memberi nama Nova Guinea; dalam bahasa Spanyol Nova artinya baru dan Guinea artinya tanah atau tempat.

Disebut sebagai Nova Guinea karena Guinea di Afrika adalah merupakan daerah jajahan Raja Spanyol yang pertama (lama) dan Guinea yang diketemukan oleh de Retes di Pasifik ini adalah merupakan tanah jajahan Raja Spanyol yang baru.

Kemudian pada waktu pemerintahan Belanjda diberinama Nederland New Guine, yang kemudianberubah menjadi Papua Barat; pada masa integrasi dengan Indonesia dirubah menjadi Irian Barat, kemudian Irian Jaya dan pada tanggal 26 Desember 2001 diganti dengan Provinsi Papua sehubungan dengan diberlakukannya Otonomi Khusus bagi Provinsi ini.

Topografinya sangat bervariasi mulai dari yang sangat tinggi (Puncak Jaya 5.500 m, Puncak Trikora 5.160 m dan Puncak Yamin 5.100) sampai dengan daerah rawa (lembah sungai Digul di selatan dan lembah sungai Mamberami di sebelah utara).

Secara garis besar topografi di Papua terdiri dari: zone utara, kondisinya mulai dari dataran rendah, dataran tinggi sampai pegunungan dengan beberapa puncak yang cukup tinggi (dataran rendah Mamberamo, pegunungan Arfak): zone tengah (central high land) merupakan rangkaian pegunungan dengan puncak yang diliputi salju dan dataran yang cukup luas (Puncak Jaya, Lembah Jayawijaya); zone selatan, pada umumnya terdiri dari dataran rendah yang sangat luas (dari teluk Beraur sampai Digul fly depression)

Beberapa danau besar dan potensial diantaranya Danau Sentani di Kabupaten Jayapura, Danau Paniai dan Danau Tigi dan Danau Wagete di Kabupaten Paniai, Danau Ayamaru di Kabupaten Sorong, Danau Anggi di kabupaten Monokawari, serta danau-danau kecil lainnya yang terbesar di daerah pedalaman Papua, merupakan potensi yang dikembangkan untuk prasarana perhubungan maupun penyediaan perikanan untuk gizi masyarakat serta pengembangan pariwisata.

Provinsi Papua merupakan wilayah Republik Indonesia yang paling Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea, dan berdekatan dengan benua Australia serta diapit oleh samudra Indonesia dan samudra Pasifik.

Dengan demikian Papua mempunyai kedudukan dan peranan yang strategis baik nasional maupun internasional.


I K L I M

Keadaan iklim di Papua sangat dipengaruhi oleh topografi daerah. Pada saat musim panas di dataran Asia (bulan Maret dan Oktober) Australia mengalami musim dingin, sehingga terjadi tekanan udara dari daerah yang tinggi (Australia) ke daerah yang rendah (Asia) melintasi pulau Papua sehingga terjadi musim kering terutama Papua bagian selatan (Merauke).

Sedikitnya pada saat angin berhembus dari Asia ke Australia (bulan Oktober dan Maret) membawa uap air yang menyebabkan musim hujan, terutama Papua bagian utara, dibagian selatan tidak mendapat banyak hujan karena banyak tertampung di bagian utara.

Keadaan iklim Papua termasuk iklim tropis, dengan keadaan curah hujan sangat bervariasi terpengaruh oleh lingkungan alam sekitarnya.

Curah hujan bervariasi secara lokal, mulai dari 1.500 mm sampai dengan 7.500 mm setahun. Curah hujan di bagian utara dan tengah rata-rata 2000 mm per tahun (hujan sepanjang tahun). cuaca hujan di bagian selatan kurang dari 2000 mm per tahun dengan bulan kering rata-rata 7 (tujuh) bulan.

Jumlah hari-hari hujan per tahun rata-rata untuk Jayapura 160, Biak 215, Enarotali 250, Manokwari 140 dan Merauke 100.


KEADAAN TANAH

Luas daerah Papua ± 410.660 Km2, tetapi tanah yang baru dimanfaatkan ± 100.000 Ha. Tanahnya berasal dari batuan Sedimen yang kaya Mineral, kapur dan kwarsa. Permukaan tanahnya berbentuk lereng, tebing sehingga sering terjadi erosi.

Sesuai penelitian tanah di Papua diklasifikasikan ke dalam 10 (sepuluh) jenis tanah utama, yaitu (1) tanah organosol terdapat di pantai utara dan selatan, (2) tanah alluvia juga terdapat di pantai utara dan selatan, dataran pantai, dataran danau, depresi ataupun jalur sungai, (3) tanah litosol terdapat di pegunungan Jayawijaya, (4) tanah hidromorf kelabu terdapat di dataran Merauke, (5) tanah Resina terdapat di hampir seluruh dataran Papua, (6) tanah medeteren merah kuning, (7) tanah latosol terdapat diseluruh dataran Papua terutama zone utara, (8) tanah podsolik merah kuning, (9) tanah podsolik merah kelabu dan (10) tanah podsol terdapat di daerah pegunungan.

Tanah yang potensial untuk tanah pertanian antara lain (a) tanah rawa pasang surut luasnya ± 76.553 Km2, (b) tanah kering luasnya ± 58.625 Km2.


PENDUDUK

Penduduk asli yang mendiami pulau Papua sebagian besar termasuk ras suku Melanesian, karena ciri-ciri seperti warna kulit, rambut, warna rambut yang sama dengan penduduk asli di bagian utara, tengah dan selatan yang memiliki ciri-ciri tersebut.

Di bagian barat (Sorong dan Fak Fak) penduduk di daerah pantai mempunyai ciri yang sama dengan penduduk di kepulauan Maluku, sedangkan penduduk asli di pedalaman mempunyai persamaan dengan penduduk asli di bagian tengah dan selatan.

Selain penduduk asli di Papua terdapat juga penduduk yang berasal dari daerah-daerah lainnya seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku: yang berada di Papua sebagai Pegawai Negeri, ABRI, Pengusaha, Pedagang, Transmigrasi dan sebagainya, bahkan juga ada yang dari luar Indonesia, misalnya Amerika, Perancis, Jerman dan lain-lain yang berada di Papua sebagai Missionaris dan Turis.


KEBUDAYAAN

Penduduk Papua terdiri dari kelompok ethnis (kelompok suku) yang mempunyai keunikan tertentu, seperti bahasa, adat istiadat dan sebagainya.

Di Papua terdapat hampir ± 250 macam bahasa sesuai dengan kelompok suku yang berada di daerah ini. tiap kelompok suku mengenal sistem strata (kelas) dalam masyarakat (penduduk). Strata penduduk diklasifikasikan berdasarkan faktor-faktor tertentu seperti keturunan, kekayaan dan sebagainya.

Strata ini diwarisi secara turun temurun dengan nama dan struktur yang berbeda dan tiap suku, dan strata ini dapat mempengaruhi kepemimpinan dalam masyarakat atau Kepemimpinan Seseorang.

Kebudayaan penduduk asli Papua mempunyai persamaan dengan penduduk asli beberapa negara Pasifik Selatan maupun Rumpun, Malanesia. Kebudayaan penduduk asli di daerah-daerah pedalaman Papua kebanyakan masih asli (tradisional) dan sulit untuk dilepaskan dan sangat kuat pengaruhnya.

Kebudayaan penduduk asli di daerah pantai sudah mengalami perubahan (walaupun tidak secara keseluruhan). Oleh karena kemudahan dalam transportasi maupun komunikasi, masyarakat di daerah pantai biasanya lebih cepat menerima pengaruh atau perubahan dari luar dengan sendirinya ikut mempengaruhi kebudayaan penduduk daerah setempat.

Beberapa kelompok suku tertentu terutama di daerah-daerah pedalaman (Jayawijaya), Merauke, Yapen Waropen, Paniai dan Kepala Burung), masih tetap mempertahankan kebudayaan aslinya secara utuh dan sulit dipengaruhi kebudayaan luar.

Dalam perkembangannya dewasa ini sedikit demi sedikit mengalami perubahan, terutama dengan adanya misi gereja yang beroperasi di daerah-daerah pedalaman yang akan ikut mempengaruhi kebudayaan.


A G A M A

Dalam hal Kerohanian, sebagian besar penduduk asli Papua telah mempunyai kepercayaan dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun demikian ada sebagian dari penduduk terutama yang berada di daerah pedalaman masih menganut faham animisme.

Untuk pertama kalinya pada tanggal 5 Februari 1855 agama Kristen masuk di Pulau yang dibawa oleh 2 (dua) orang penginjil yaitu Ottow dan Geizler dari Belanda dan Jerman. Sejak itu agama Kristen mulai berkembang ke seluruh.

Dengan demikian mayoritas penduduk di Papua memeluk agama Kristen Penduduk di bagian utara, barat dan timur kebanyakan agama Kristen Protestan, sedangkan penduduk bagian selatan dan sebagian pedalaman Enarotali memeluk agama Kristen Katolik.

Selain agama Kristen, sebagian penduduk asli terutama daerah Fak Fak dan kepulauan Raja Ampat Sorong menganut agama Islam.

Sekarang ini sesuai perkembangan dan perubahan daerah yang juga membawa perubahan kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Di Papua terdapat agama Kristen, agama Islam dan Hindu Bali serta Budha yang merupakan penganut minoritas.

Agama Islam dan Hindu kebanyakan hanya terdapat di kota sedangkan daerah-daerah pedalaman pada umumnya beragama Kristen.

Kerukunan dan toleransi beragama yang cukup baik di kalangan masyarakat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan di bidang keagamaan di daerah ini.


FLORA

Dari seluruh daerah Papua ± 75% tanah daratanya ditumbuhi oleh hutan-hutan tropis yang tebal serta mengandung ragam jenis kayu yang terbesar secara heterogen. Sebagian besar dari hutan tersebut sesuai topografi daerah belum pernah dijamah oleh manusia.

Jenis flora di Papua ada persamaan dengan jenis flora di benua Australia. Adapun jenis flora yang terdapat di Papua adalah Auranlaris, librocolnus, grevillea, ebny-dium dan lain-lain.

Sekitar 31 Juta ha di Papua penata gunanya belum ditetapkan secara pasti Hutan lindung diperkirakan seluas ± 12.750.000 ha. Hutan produksi diperkirakan ± 12.858.000 ha. Areal pengawetan dan perlindungan diperkirakan ± 5.000.000 ha. Daerah Inclove diperkirakan ± 114.000 ha, daerah rawa-rawa dan lain-lain diperkirakan ± 2478.000 ha.

Di Papua terdapat flora alam yang pada saat ini sedang dalam pengembangan baik secara nasional maupun internasional yaitu sejenis anggrek yang termasuk di dalam Farmika Orctdacede yang langka di dunia.

Anggrek alam Papua tumbuhnya terbesar dari pantai lautan rawa sampai ke pegunungan. Umumnya hidup sebagai epihite menembel pada pohon-pohon maupun di atas batu-batuan serta di atas tanah, humus di bawah hutan primer.


FAUNA

Seperti halnya dengan flora, keadaan di Papua pun bermacam-macam dalam dunia hewan misalnya, jenis yang terdapat di Papua tidak sama dengan jenis hewan di daerah-daerah di Indonesia lainnya seperti Kangguru, kasuari, Mambruk dan lalin-lain. Demikian pula sebaliknya jenis hewan tertentu yang terdapat di Indonesia lainnya tidak terdapat di Papua seperti Gajah, Harimau, Orang Utan dan lain-lain.

Fauna di Papua terdapat persamaan dengan fauna di Australia, misalnya Kangguru, Kus-kus dan lain-lain.

Burung Cendrawasih merupakan burung yang cantik di dunia dan hanya terdapat di Papua. Selain burung Cendrawasih terdapat jenis burung lainnya seperti Mambruk, Kasuari, Kakauta dan lain-lain yang memberikan corak tersendiri untuk keindahan daerah ini.

Hewan-hewan yang langka dan dilindungi adalah burung Kakatua Putih, Kakatua Hitam, Kasuari, Nuri, Mambruk dan lain-lain yang termasuk burung Cendrawasih

Jenis fauna laut Papua juga banyak dan beraneka ragam, misalnya ikan Cakalang, ikan Hiu, Udang dan sejenis ikan lainnya.


TRANSPORTASI

Transportasi Udara

Di Papua terdapat 288 landasan udara, masing-masing Kabupaten mempunyai landasan udara.

Ada landasan udara yang didarati pesawat besar seperti Jumbo Jet Boing 747 dan DC 9 dan landasan udara di daerah pedalaman didarati oleh pesawat kecil seperti Twin Otter Cessna.

Landasan Udara yang besar Frans Kaisepo di Biak, Sentani di Jayapura, Timika dan Merauke dapat disinggahi pesawat dari Jakarta, Surabaya, Makasar-Biak Timika-Jayapura pulang pergi.

Transportasi Laut

Terdapat pelabuhan laut disetiap Kabupaten yang berada dipinggiran laut yang disinggahi kapal Penumpang Ciremai, Dobonsolo, Ngapulu, Dorolonda dan kapal-kapal Niaga Kapal Perintis antar kota dan kecamatan.

Transportasi Darat

Terdapat kendaraan umum, carteran dan semua Kabupaten di Provinsi Papua terdapat jalan darat yang menghubungkan Kecamatan Desa dan Kota.